Gadis Linglung di Taman Hiburan

Aku terus memperhatikan gadis linglung itu. Kukatakan linglung bukan karena dia bertingkah kurang waras, dia normal, sangat normal. Hanya saja pakaiannya agak kurang sesuai dipakai di tengah malam gerimis begini. Gadis linglung itu memakai gaun merah tanpa lengan dan stiletto runcing hitam mengkilap.

''Apa dia tidak kedinginan? Ini taman hiburan, bukannya convention hall,'' pikirku tak habis-habis.

Gerak-geriknya mencurigakan. Jelas sekali dengan pakaian seperti itu, mata laki-laki seolah dimanjakan. Ah, dasar laki-laki. Kekasih digandeng di sebelahnya, tapi mata sibuk berpetualang. Sebentar. Aku kan juga laki-laki. Bedanya, aku sedang jalan-jalan sendirian. Aku seorang pria setia, perempuanku yang justru mata keranjang.

Gadis linglung itu berhenti di barisan antrian menuju wahana bianglala. Kuikuti dia dan ikut berdiri berjarak lima pasangan di belakangnya. Bah, kenapa dia memilih mengantri di wahana ini? Di sini, selain kami, semua pengantrinya membawa pasangan. Lagi-lagi gadis linglung itu menjadi pusat perhatian.

''Kasihan, cantik-cantik sendirian,'' gumam pemuda ceking plontos di depanku.

Agaknya gumaman itu tak luput dari kuping kekasihnya. Gadis mungil berwajah lucu itu mencengkeram lengan si ceking plontos sambil menggeram.

''Jangan jelalatan,'' katanya membuat wajah lucunya tak lucu lagi.

Tuhan, apakah adil bagi gadis linglung itu untuk dihujat perempuan-perempuan lain yang sedang cemburu? Setidaknya meski cantik, dia tak tersenyum sembarangan. Kesenduannya dan ketidakpeduliannya itulah yang menarik perhatian.

Entah dimulai siapa. Kericuhan menjalar sampai barisan depan. Para perempuan sibuk mencubit lelakinya yang terus menoleh ke arah si gadis linglung. Melihat efek chaos yang hampir terjadi, mendorongku untuk maju ke samping gadis linglung itu.

''Sayang, kamu kucari-cari ternyata di sini. Nih pakai jaketku biar nggak kedinginan,'' ujarku cuek seraya memakaikan jaketku pada si gadis linglung.

Gadis itu membuka bibir merahnya. Ia diam saja meski kutarik keluar dari antrian. Baru setelah agak jauh, kami duduk di bangku dekat wahana jet coaster yang riuh ceria.

''Maaf, tapi kehadiranmu tadi hampir memantik banyak pertengkaran,'' kataku.

Ia menunduk. Rambut gelombangnya tergerai menutupi rahang indahnya.

''Aku tahu. Senang sekali, ternyata masih ada laki-laki yang memperhatikanku.'' Kalimat pertama nan sendu terucap darinya.

''Lagi patah hati ya?'' Tebakku sok tahu.

''Kamu juga kan? Sesama penderita patah hati biasanya bisa saling mendeteksi.''

Aku tidak langsung menjawab. Keberadaanku di tempat ini memang untuk menjadi mata-mata bagi kekasihku. Sejak kulihat bahu indahnya dipeluk pemuda lain, kuputuskan hubungan kami. Patah hati. Seperti jam bagus yang dipaksa mati dengan mencabut baterenya.

''Tunanganku menikah dengan sahabatku malam ini. Makanya aku ke sini. Ya, orang brengsek memang pantas dapat bajingan. Padahal sahabatku itu sudah jutaan kali tidur berganti pria!'' Serunya penuh dendam.

''Tuhan itu adil. Makanya kita dibikin patah hati,'' tukasku.

Pandangan kami saling beradu. Dia tidak menangis. Hatiku juga tak nyeri meski sedang patah. Kami luruh dalam beribu ketidakpastian.

Tidak ada komentar