Hati di Sebuah Kamar

“Luki, namamu sedap didengar tapi sayangnya namamu itu tidak membawa keberuntungan buat kita,” kata Dreamy pada laki-laki bertubuh jangkung dengan postur tegap itu.

Laki-laki yang ia panggil Luki, berjalan mendekat lalu membelai rambut Dreamy yang tergelar hingga punggung. Dreamy beringsut sedikit menjauh. Air matanya masih tak kunjung susut.

“Aku kan sudah berjanji untuk kembali. Setelah gunung Himalaya bisa kudaki, maka aku ingin membawamu ke sana. Kita bisa mengikat janji sehidup semati di gunung yang menjadi favoritmu sejak kecil itu.” Tutur Luki.

Tak ada yang bisa menyalahkan kemarahan Dreamy pada Luki. Kepergian selama sepuluh tahun, tanpa pesan dan hanya berbekal janji untuk kembali, membuat Dreamy serupa orang gila yang menunggu bayang-bayang.

“Waktu,,waktu yang kamu lewatkan itu lebih berharga ketimbang sekedar membawakan cerita penaklukanmu pada dunia. Bahkan waktu itu lebih penting ketimbang kisahmu bisa membawakan Himalaya padaku,” tukas Dreamy.

Luki terdiam. Rambut gondrongnya terjuntai ke muka.

“Aku sudah punya Himalayaku sendiri,” ujar Dreamy lirih. Wajahnya menoleh pada sosok bayi kecil yang sedang tertidur lelap di ranjang kayu,”setelah ini pergilah, Fuji akan segera pulang. Kami sudah memiliki janji makan malam. Ini hari jadi pernikahan kami yang kedua,”

Luki tersenyum maklum. Ia seret kakinya menjauh. Sepi. Sepotong hati sudah terbelah di kamar Dreamy.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Tidak ada komentar