Waktu Yang Kubunuh




Waktu telah kubunuh. Gara-gara keisengan waktu, aku akhirnya bertemu dengannya, seorang pria yang kini untuk kusebutkan namanya saja sudah membuat jantungku hendak meloncat. Bagaimana caraku membunuh waktu? Aku matikan semua ponsel, kututup tirai kamar dan kukunci rapat pintu. Jam beker pun aku buang ke tempat sampah.  Biar sempurna, kututup mataku dengan penutup mata yang biasa kugunakan untuk tidur. 

“Meilani, ayo buka pintunya!” suara itu dibarengi dengan gebukan keras di pintu utama apartemenku.  Gemanya mencapai kamarku yang sudah tidak terjamah oleh waktu.

Aku tahu ini tanggal barapa. Aku tahu ini jam berapa. Makanya aku bertekad untuk tidak mau menggubris waktu. Kubunuh penunjuk waktu yang kuketahui. Kusingkirkan segala hal yang bisa membuatku sadar jika hari sudah berganti, mungkin kalau sudah sadar, aku bisa menjadi orang yang tak akan bergantung lagi dengan keegoisan waktu.

“Meilani, buka pintunya! Ini hari pernikahanmu!” itu suara kakak lelakiku, Bram, yang akan menjadi pendamping nikahku.

Persetan dengan keluargaku. Persetan dengan dia, laki-laki yang semula kuanggap berharga namun kini tidak lagi penting. Kalian mungkin bertanya, mengapa aku bisa sekejam ini. Kalian pasti juga mendukung kakakku yang memakiku di depan pintu. Aku adalah perempuan yang sengaja tidak menghadiri pemberkatan nikahnya. Dentang gereja barangkali sampai malu melihat kasak-kusuk undangan dan juga kekecewaan pihak mempelai pria.

“Maafkan aku, Mei” kata lelaki itu, matanya basah dan kakinya gemetar ketika menyampaikan sebuah rahasia padaku kemarin.

Laki-laki itu memelukku. Tapi pelukannya sudah tak lagi kuinginkan. Lelaki itu mengecup keningku, namun muak yang aku rasakan. Kudorong tubuhnya menjauh. Senyap yang hadir di acara candle light dinner kami, menjadi seram bukannya romantis.

“Sudahlah, berikan aku waktu untuk berpikir,” ujarku padanya.

Matanya mengerjap, sedikit senang. Kami berjanji untuk bertemu di depan altar esoknya. Padahal tanpa ia ketahui, aku sudah punya rencana. Seluruh penanda waktu akan kulenyapkan. Aku tidak akan menampakkan wajahku di depan mukanya. Kuraih sebuah pigura yang isinya potretku dengan Cindy, sahabat terdekat dan bisa dibilang sebagai soulmate. Laki-laki itu telah membunuh sahabatku, perempuan yang telah mengandung janinnya. Cindy bunuh diri sebulan lalu karena ditinggalkan dirinya, calon suamiku.

2 komentar

eksak mengatakan...

ohhh, gitu ... ya ya ya

Reffi Dhinar mengatakan...

trims sudah mampir :)