Pendidikan yang Menyenangkan

Sekolah adalah lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk mendidik generasi penerus. Pemerintah sudah merencanakan dengan serius tiap tahunnya tentang bagaimana sistem pendidikan yang baik untuk anak-anak Indonseia, namun rupanya masih saja ada celah ketidaksempurnaannya. Seperti polemik UNAS yang sudah dianggap tidak cocok untuk menjadi standar kelulusan atau bagaimana masyarakat mengeluhkan perubahan kurikulum yang terlalu sering berganti seiring dengan bergantinya pemegang pemerintahan.


Di tahun 2015, Indonesia masuk ke dalam rangking ke 69 dari 76 negara untuk sistem pendidikannya, cukup jauh tertinggal dengan Malaysia yang berada di rankging 52. Apa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita? Yang saya rasakan dulu saat masih menjadi siswa, sekolah adalah tempat belajar yang punya sisi menyenangkan sekaligus menyebalkan. Senang karena bisa bertemu dengan kawan-kawan, sebal karena jika gagal di sebuah mata ujian, terutama mata ujian yang termasuk dalam UNAS, akhirnya mendorong saya untuk bisa mendapatkan nilai baik dengan cara apapun.


Sekolah yang lebih banyak teori daripada praktek, menghapal banyak rumus dan juga tugas rumah yang membuat waktu bermain sedikit adalah keluhan saya yang mungkin dirasakan oleh banyak anak-anak. Orang tua juga termindset untuk menjadikan pelajaran eksakta sebagai tolok ukur kecerdasan di sekolah. Anak-anak yang berbakat di bidang olahraga dan kesenian, tidak terlalu diapresiasi di sekolah.
Indonesia punya banyak anak cerdas. Tiap tahun selalu muncul berita peraih nilai UNAS tertinggi di tiap daerah. Tiap kali melihat berita itu dulu, saya jadi minder, merasa tidak pintar. Walau kemampuan bahasa asing saya diakui dan saya selalu meraih nilai yang cukup baik di sekolah, rasanya kurang cukup karena saya bukanlah peraih nilai sempurna seperti di berita-berita itu. 

Seharusnya pemerintah harus mengubah mindset masyarakat dengan merevisi kurikulum serta tolok ukur kelulusan. Menurut saya perlu ditambahkan mata pelajaran Bertahan Hidup di Alam, Bisnis  dan juga Permainan Tradisional di muatan lokal anak-anak sekolah dasar.


Pelajaran Bertahan Hidup di Alam tidak diterapkan di ekstra Pramuka saja. Jika dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal, anak-anak bisa belajar mencintai alam. Dengan pembina yang tepat, kegiatan membaca cuaca, belajar menggunakan kompas, membedakan tumbuhan beracun dan tidak beracun, mengenal gunung, dan juga belajar bersinergi dengan kawan satu tim, bisa diajarkan sejak dini.  Di alam bebas itu, anak-anak juga bisa melakukan proyek sains. 


Bisnis tidak hanya diberikan untuk siswa sekolah menengah dan perguruan tinggi. Sekarang di masa penggunaan internet yang semakin luas, sebaiknya anak-anak dikembangkan talenta berkarya lalu belajar memasarkannya secara online. Teori bisnis dibuat seringan mungkin dan lebih banyak praktek. Tiap anak diwajibkan mencari satu ide yang bisa mereka jual. Sesederhana apapun, tidak menjadi masalah.


Dan pelajaran Permainan Tradisional jangan lagi dimasukkan dalam bagian pelajaran Pendidikan Jasmani saja. Anak-anak perlu belajar sejarah permainan tradisional, praktek lapangan dan dirangsang untuk menciptakan permainannya sendiri. Jenis permainan khas daerah lain juga bisa dikenalkan.


Ketiga mata pelajaran tersebut sebaiknya diajarkan kepada siswa kelas 1 sampai kelas 3. Target utama adalah bisa mencetak pikiran yang tangguh dan tubuh yang sehat. Teori di buku pelajaran dapat dipraktekkan saat belajar di alam atau berbisnis. Menghitung laba dan rugi yang ada di dalam pelajaran Matematika contohnya, bisa diaplikasikan di pelajaran Bisnis.


Jika memang pemerintah belum bisa membuat kurikulum yang tepat, alangkah baiknya jika kita sebagai generasi yang nantinya menjadi orang tua, membekali anak-anak dengan unsur pendidikan yang asyik, tidak hanya teori dan memaksakan anak menjadi juara pertama. Jangan jadikan generasi kita jago teori namun nihil dalam menghadapi persaingan di dunia kerja serta masyarakat nantinya.



2 komentar

ira duniabiza mengatakan...

iya setuju mba, kurikulum kita masih belum jelas ya arahnya dan masih berpatokan pada scientifik saja. Sedag life skill kurang. Pemahaman ttg life skill pun juga masih terbatas pada keterampilan. padahal kemampuan anak beradaptasi dengan alam dan masyarakat juga life skill yang luar biasa. sayang baru sekolah swasta yang menyediakan ini, itu pun dengan bayaran selangit.

Reffi Dhinar mengatakan...

andai pemerintah mau aware ya mbak :)