Kisah Monster Sarat Emosi (Review The Curse of The Wendigo)




Judul               : The Curse of The Wendigo
Penulis           : Rick Yancey
Jumlah Halaman : 424 halaman
Tahun Terbit : 2010
Penerbit        : Simon & Schuster BFYR
ISBN                : 978-1-4169-8451-1
Edisi                : Bahasa Inggris

Menyambung dari serinya yang pertama, The Monstrumologist, petualangan Dr Pellinore Warthrop dan Will Henry berlanjut ke dataran Kanada. Dan seri kedua ini belum diterbitkan di Indonesia, jadi saya membelinya di Periplus secara online. Meski satu per satu kata dalam bahasa Inggris tak semuanya saya pahami, tapi paling tidak saya bisa paham konteks kalimatnya dan menikmati isinya. Saya makin jatuh cinta dengan pengembangan karakter dua tokoh utamanya.

Pasca pembasmian Anthropophagi di dekat tempat tinggal Will Henry dan Dr Warthrop, keduanya kembali larut dengan kesibukan seperti awal sebelum ada petualangan seru yang harus dimulai. Sang peneliti monster sibuk mengembangkan hipotesis dan meneliti sedangkan Will Henry masih menjadi pelayan plus asisten setia yang pelan-pelan berusaha memahami Dr Warthrop. Sang Dokter tak mau membuka diri, meski  ia mulai menunjukkan kepeduliannya kepada Will. Sampai suatu  hari seorang wanita cantik bernama Muriel Chanler yang menjadi kawan lama Dr Warthrop datang berkunjung.

Muriel datang jauh-jauh dari daerah Kanada demi meminta bantuan sang monstrumolog. Suaminya, John Chanler, yang juga menjadi sahabat lama Dr Warthrop sudah menghilang beberapa lama. Diketahui jika John Chanler sedang mencari bukti keberadaan makhluk bernama Wendigo atau juga disebut Outiko. John dan Dr Warthrop tumbuh mempelajari aneka monster di bawah pendidikan Von Helrung. Menariknya justru karena masalah tersebut, mau tidak mau Dr Pellinore Warthrop pun mulai menyingkap rahasia kehidupannya. Pencarian John oleh Dr Warthrop dan Will Henry akan membuka sisi lemah si monstrumolog. Dr Warthrop yang selalu bilang jika ia tidak peduli dengan hubungan antar individu, nyatanya mau mengambil risiko menjelajahi hutan asing, menghadapi kengerian dan ancaman makhluk kanibal mitologi tanpa senjata demi mencari keberadaan kawan lamanya.

Untuk level kengerian, masih lebih pekat di buku yang pertama, namun untuk perkembangan karakter, novel kedua ini jauh lebih intens. Tersesat di tengah hutan belantara dan juga menemukan satu per satu mayat dengan wajah terkelupas serta jantung yang diambil, membuat keyakinan Dr Pellinore Warthrop terguncang. Dia sama sekali tidak percaya dengan makhluk mitologi seperti vampir atau wendigo. Wendigo yang menurut kepercayaan warga setempat disebut sebagai makhluk buas kelaparan bermata kuning, akan menyebut nama korbannya, mengejar sampai dapat namun rasa laparnya tidak akan pernah terpuaskan. Seorang manusia juga bisa menjadi wendigo jika dia menyerah pada ketakutannya sendiri ketika berhadapan dengan monster tersebut.

Sang Dokter dan bocah yang selalu disebut asisten semakin sulit dipisahkan. Dr Warthrop memiliki rasa kasih seperti sosok ayah meski dalam balutan sikap sarkastis dan kadang membuat Will Henry merasa tertolak. Satu sama lain berusaha saling melindungi, apalagi setelah terbongkar jika Muriel adalah mantan tunangan Dr Warthrop yang sampai saat ini masih dicintai. Rumitnya lagi, walau sudah menikah dengan John Chanler, Muriel sebenarnya masih menyimpan hati pada mantan kekasihnya. Rahasia hati tiga orang tersebut digambarkan dengan kompleksitas menarik, konflik yang terus beranjak naik sampai pembaca menemukan kengerian tak terbantahkan.

Hanya saja di bagian tengah, penulis sepertinya sedikit kedodoran sehingga alur berjalan agak membosankan apalagi di bagian perdebatan dengan Von Helrung. Untung penulis bisa segera memperbaikinya dan menciptakan konflik kedua setelah Dr Warthrop dan Will keluar dari hutan.

Saya suka salah satu bagian dialog ketika sang monstrumolog ingin Will tak lagi mendampinginya karena pekerjaannya sangat dekat dengan bahaya.

“How true that honesty is its own reward. More often than not, its only reward! We should be honest with each other, Will Henry. Your motives for staying here are no more pure than mine for allowing you to.”
“Please, sir, I want to stay.” (page 189)

3 komentar

Egit Hibatillah mengatakan...

Ka ini beli bukunya dimana? Soalnya aku udah nyari tapi nggk ketemu juga. Pngen baca

Egit Hibatillah mengatakan...

Ka ini beli bukunya dimana? Aku udah cari tapi nggk ketemu, pngen baca

Reffi Dhinar mengatakan...

Egit: kalau seri kedua ini aku belinya di Periplus, nunggu impor dari luar dulu karena belum dijual disini..masuk aja ke web Periplus ya