Belajar Bahasa Asing dan Menulis Membuat Hidupku Berubah

Aku adalah anak aktif yang juga dikenal memiliki rasa ingin tahu tinggi. Prestasi di sekolah  kucapai sejak sekolah dasar, namun karena beberapa kejadian, secara perlahan aku memilih untuk tidak terlalu menonjolkan diri. Ya, aku adalah si kutu buku yang tidak memiliki teman dekat.

Sahabat-sahabatku yang baru kutemukan di bangku SMU, meyakinkanku untuk terus menggali kemampuan bahasa asing dan percaya jika suatu hari aku akan menjadi penulis seperti yang kucita-citakan, walau banyak orang berkata jika semua kegemaran itu tidak ada faedahnya.

Selain mencintai buku, aku tergila-gila dengan menulis. Hobi lainnya adalah menekuni bahasa asing. Aku serius belajar bahasa Inggris sampai lumayan fasih lalu berhasrat untuk menguasai bahasa Jepang. Andai ada kelas bahasa di SMU dulu, pasti aku akan masuk kelas itu.

Ketika aku bercerita mengenai hal ini kepada orang tua, yang terlontar dari mereka adalah,”Untung di sekolahmu nggak ada kelas bahasa. Yang bagus itu masuk kelas IPA. Kam mau jadi apa kalau masuk kelas bahasa?”

Mendengar itu aku jadi sedikit kecewa. Selama ini orang tuaku memang tidak melarangku untuk ikut les bahasa asing atau menulis cerita di sela waktu belajar, tetapi jika menjadikan kedua hobi itu sebagai tujuan hidup agaknya akan menimbulkan perdebatan. Profesi yang keren itu selalu identik dengan hal-hal berbau eksakta seperti dokter dan insinyur. Kelas IPA atau Sains dianggap lebih prestisius.

Image Source: Fanpop.com 


Belajar Bahasa Jepang Disebut Mau Jadi TKW
Lulus SMU, aku diminta Ayah untuk masuk ke jurusan-jurusan berbau ilmu eksakta. Hasilnya gagal semua. Yang ada di benakku adalah aku ingin menjadi orang yang fasih berbahasa asing dan juga menjadi penulis yang inspiratif. Setelah gagal di berbagai ujian masuk, kunyatakan keinginan kepada orang tua jika ingin masuk jurusan Sastra Jepang. Respons yang kuterima sudah bisa kutebak.

“Mau lulus jadi apa? Anak-anaknya teman Ayah yang masuk jurusan itu bilang kalau Sastra Jepang itu gampang masuknya, sulit keluarnya. Banyak yang mutung di tengah jalan.”

Kecemasan itu memang ada benarnya. Apalagi keluargaku bukanlah keluarga kaya sehingga jika ingin menguliahkanku pasti  harus rela mengencangkan ikat pinggang. Singkat cerita, aku berkuliah di jurusan impianku setelah berjanji kepada Ayah,”Lihat deh, Yah. Aku akan menjadi yang terbaik. Aku akan lulus dengan presatasi terbaik.”

Yang menyakitkan adalah kata-kata dari kenalan yang bilang,”Mau apa belajar bahasa Jepang? Mau kerja jadi pembantu di sana? Mau jadi TKW?”

Pikiran orang-orang yang tidak tahu dan awam menghujat pilihan kuliahku. Aku tak peduli. Aku belajar jauh lebih keras dari mahasiswa lain yang berasal dari kelas bahasa dan sempat mengenyam bahasa Jepang lebih lama. Aku pernah ikut kursus bahasa Jepang ketika SMP tetapi hanya sebatas tata bahasa paling dasar dan akhirnya lupa karena kursusnya bubar di tengah jalan. Kuliah bahasa Jepang tak hanya belajar huruf kanji, tata bahasa ratusan, budaya dan sastranya tetapi juga sedikit ilmu psikologi. Kupakai waktu malamku untuk belajar. Hampir tiap hari selalu ada kuis atau tes kecil yang mempengaruhi indeks prestasi. Syukurnya, aku bisa melaluinya dengan sangat baik. Tiap semester aku mendapat nilai terbaik bahkan pernah mendapat indeks prestasi sempurna dua kali. Nilai IP  tidak pernah di bawah 3,6. Beasiswa pun sering kuperoleh.
(Baca Juga: Lancar Berbahasa Asing di Komunitas Polyglot Surabaya)

Profesi Penerjemah dan Penulis
Sejak tahun terakhir kuliah, aku mencari banyak pekerjaan freelance, dari menerjemahkan di event, menerjemahkan naskah tertulis dan menulis artikel. Hanya 4 jam waktu tidurku selama sehari sampai tubuhku ambruk karena maag akut dan sinus akut. Profesi penerjemah pun kuperoleh selepas lulus kuliah. Aktivitas menulisku semakin meningkat dari yang hanya sebagai penulis antologi meningkat menjadi penulis buku atas nama sendiri dan blogger. Aku pun belajar content writing secara perlahan. Kini tulisan-tulisanku dan juga kemampuanku dalam berbahasa asing sudah memberiku rezeki yang cukup. Malah kini aku dipercaya untuk sesekali mengisi workshop mengenai kepenulisan. Sungguh sebuah keajaiban!
(Bacs Juga: Berkarya dengan Bahasa Asing)

Dengan menjadi penerjemah, aku juga belajar hal baru di kantor. Mulai dari ilmu manufaktur, bisnis, manajemen dan lainnya. Penerjemah di dunia perusahaan juga dituntut memiliki kemampuan di luar bahasa asingnya.

Kini mulai banyak yang berkeinginan mengasah kemampuan bahasa asingnya dan ingin belajar menulis. Duniaku semakin meluas. Mereka yang dulu mencibir kini bertanya padaku apa aku dulu sudah tahu soal kemungkinan bahasa asing serta menulis akan menjadi kebutuhan saat ini? Jelas saja aku menjawab tidak. Aku tak pernah bisa meramal bagaimana dunia akan berputar. Yang kumiliki adalah rasa percaya dan ketekunan agar dua passionku benar-benar bermanfaat.

Kini aku bukan lagi anak kutu buku yang menutup diri dari dunia. Aku memiliki banyak impian dan semuanya berkat dua hobi yang kujadikan energi dalam hidup, selain karena ingin membahagiakan orang tua. Cintai impian kita dengan tulus, bekerja keras, dan lihat keajaiban apa yang akan kita terima.
Image Source: quora.com 


14 komentar

sisi lain young engineer mengatakan...

Saya punya sahabat baik waktu SMA, dia memilih IPS dan saya memilih IPA,, tidak ada yg mencela pilihan masing2. Sampai saat ini pun kita masih saling mendukung profesi yg kita pilih,, dia sbg wirausaha dan saya sbg engineer,,
Malah jd curhat,, santai aj gan,, apapun pilihan agan, mudah2an bisa mendatangkan Rizki dan kebahagian utk agan,, tetap semangat

Eva Arlini mengatakan...

Masya Allah, Allah swt nggak pernah salah dengan ayatnya ya mbak. Man jadda wajada. Ini kamus yang berlaku umum. Bila kita bersungguh-sungguh sebab yakin pada suatu yang hendak dicapai, maka Allah swt akan membayar jerih payah itu dengan keberhasilan.. smoga berkah ya mbak ilmunya, menjadi semakin baik di mata Sang Pencipta, keluarga dan masyarakat.. amin

Claude C Kenni mengatakan...

Sebagai sesama pelajar bahasa asing, saya merasa termotivasi setelah baca cerita kamu. Menguasai bahasa asing itu membuka jendela dunia. Sekarang kalo googling, kita gak cuma bisa baca artikel Bahasa Indonesia dan Inggris aja, itu artinya dunia kita bertambah luas kan? Hehehe.

Salam kenal ya.

Tira Soekardi mengatakan...

memnag gak rugi punya skil bahasa asing ya, btw kalau jd penerjemah apa hrs ada sertifikatnya gak

Reffi Dhinar mengatakan...

passion leads us to success, makasii sudah sharing :)

Reffi Dhinar mengatakan...

amiin, semoga diijabahi Allah mbak :)

Reffi Dhinar mengatakan...

yap, ilmu itu bisa dari berbagai bahasa, semangat juga buat kamu :D

Reffi Dhinar mengatakan...

untuk menjadi penerjemah profesional setahu saya ada seritifikatnya mbak
Inggris bisa pakai TOEFL atau IELTS, kalau Jepang pakai Nouryokushiken minimal level 3 namun banyak yang mencari level 2

mutimimut mengatakan...

Salut mba memperjuangkan passion sejak remaja, karena sebagaimana kebanyakan orangtua atau di zaman dahulu, berkembang persepsi bahwa jurusan IPA lebih keren & hanya sebagian profesi yang dianggap bisa maju. Padahal profesi apapun asal ditekuni serius dan sesuai passion, rasanya juga menjanjikan tho

Reffi Dhinar mengatakan...

benar sekali mbak, alhamdulillah saya bisa stick dengan passion :)

Mama Indri mengatakan...

Sayangnya saya dulu hanya jatuh di les bahasa jepang. Bener2 gak dibolehin maunya ortu saya di jurusan IPA kuliahnya. akhirnya ambil peternakan dan lulusnya IPK mepet haha. Bahasa jepang saya berhenti di tes noryokushiken lv 5 karena dulu pas ada baru2nya lv 5 diadakan.

sabda awal mengatakan...

menginspirasi sekali mbak..... saya saat ini juga pengen belajar bahasa asing, sekarang belajar bahasa azerbaijan. pengennya menguasai minimal 5 bahasa asing...

dulu bahasa asing mungking ga begitu terpandang tapi kini globalisasi merubah segalanya. bahkan 1 bahasa asing saja udah bisa cukup buat makan jadi intterpreter atau freelance

memang waktu sma dulu yang diandalin IPA saja, saya juga sekolah di SMA IPA mbak,

Fanny F Nila mengatakan...

baca ini aku lgs inget zaman smu. kls 3 lulus ips, tp papa dtg ke sekolah dan memaksa guruku utk pindahin aku ke ipa. padahal aku benci pelajaran itu. pas kuliah, dipaksa jg utk ambil akuntansi, pdhl aku pgn msk bahasa ato perhotelan. tp jwaban papa mau jd apa dinperhotelan?? pelayan??

sakit banget dgrnya.. sayangnya aku ga berani menentang wkt itu mba. jd aku trima aja semua yg dipaksa papa.. hasilnya, jelek banget sih ga, tp juga ga cemerlang. krn aku setengah hati. pelajaran utk ku nanti, kalo anakku udh bisa menentukan pilihan, aku ga bakal maksain apa yg aku mau :)

Reffi Dhinar mengatakan...

Bisa dilanjuut mbak ☺