Interpreter Journey: Persiapan Menentukan Segalanya




Kembali lagi di postingan tentang dunia interpreter di blog ini. Karena banyak sekali utang postingan sebelumnya, jadi artikel tentang dunia interpreter pun agak terabaikan. Nah, kebetulan karena tanggal 31 Oktober lalu saya mendapat mandat dari kantor untuk mendampingi salah satu atasan Jepang ke Jakarta, berangkatlah saya ke ibukota untuk meeting satu hari.

Aslinya, saya tidak begitu sreg di tugas waktu itu. Tugas interpreting di bulan April lalu berjalan selama 4 hari, tetapi saya masih merasa enjoy karena waktu istirahat cukup. Dan untuk meeting di akhir Oktober lalu, saya berasa sedang ikut lari maraton. Semuanya terbatas waktu dan juga praktis waktu santai hanya ketika di pesawat serta mobil.

Meski bisa rileks sebentar di pesawat dan naik di maskapai yang nyaman, bukan berarti enak. Saya adalah penderita SINUS. Tubuh saya harus istirahat dulu setelah naik pesawat meskipun hanya satu jam penerbangan. Perubahan ketinggian mendadak pasti akan sangat berpengaruh. Makanya dokter menyarankan untuk tidak terlalu sering terbang dan menyelam. But I have a big responsibility to do my task. Karena saya dipilih untuk mendampingi atasan di meeting yang penting, jelas saya sudah mendapat kepercayaan istimewa yang tidak boleh saya sia-siakan. Bagi orang Jepang, selain ketepatan waktu yang dinilai baik, maka tanggung jawab juga sangat diperhatikan.

Apa saja yang bisa saya pelajari dari one day business trip lalu?

Interpreter Harus Punya Kondisi Fisik Prima
Seorang interpreter biasanya dibutuhkan di meeting, konferensi, seminar bahkan di lingkungan outdoor. Selepas wisuda, saya terjun menjadi karyawan penuh waktu di bidang interpreter dan translator sebuah industri. Kalau menerjemahkan di tempat yang panas dan juga penuh polusi, tentu kita harus siap dengan kondisi fisik yang baik.
(Baca Juga: Interpreter Journey, Rasa Ingin Tahu Adalah Kunci

Saat menerima pekerjaan baik freelance atau di sebuah industri, kita harus mengecek bagaimana kondisinya dan mempersiapkan perbekalan yang dibutuhkan. Ketika bertugas di lingkungan yang panas, saya membekali diri dengan air mineral supaya tidak dehidrasi. Dan sebelum bertugas selama satu hari kemarin dengan naik pesawat, di mana akan membuat sinusitis saya kambuh, saya rajin olahraga sampai browsing apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah sinusitis kambuh ketika terbang. Cukup istirahat dan makan teratur juga saya lakukan. Hasilnya, sinusitis saya tidak kambuh di hari-H. Meeting berjalan lancar hingga kembali ke Surabaya.



Interpreter Harus Siap dengan Kondisi Tak Terduga
Saya memang telah mempersiapkan kondisi fisik serta mempelajari materi yang akan dibahas di dalam meeting, tetapi yang perlu diingat, kadang kondisi dan situasi tak terduga di lapangan bisa membuat konsentrasi kita buyar jika tidak siap. Saya membawa bekal roti isi serta melahap semua camilan di dalam pesawat. Ini untuk mencegah asam lambung kambuh karena saya tidak sempat sarapan nasi. Ternyata setelah mendarat, saya terpisah dengan si Bapak Bos. Akhirnya saya turun dari tempat parkir mobil di Terminal 3 Soekarno-Hatta dan menyusul para atasan dari Jepang di Gate 5.

 Waktu makan siang pun habis dan kami langsung menuju lokasi meeting supaya tidak terlambat. Untung saja saya membawa bekal, jadi tidak sampai pingsan karena tidak makan siang. Selain sinusitis, saya memiliki lambung sensitif sehingga tidak boleh telat makan. Kejadian tidak terduga ini bisa diantisipasi karena saya mempersiapkan kemungkinan terburuk sebelumnya. Jakarta yang terkenal macet membuat saya merencanakan sampai hal terkecil seperti membawa bekal. Ketika pulang pun, makan malam harus saya lakukan secepat kilat karena ternyata saya harus menuju gate 25 untuk terbang kembali ke Surabaya.


Interpreter Tidak Boleh Cengeng
Kenapa ini penting? Karena saat menjadi interpreter bagi orang asing yang belum awam dengan kondisi dan situasi di Indonesia, maka kita harus siap menjadi guide, siap menjawab semua pertanyaan remeh-temeh yang kadang tidak ada hubungannya dengan meeting, siap menjadi penyambung lidah dan menahan emosi di antara orang lokal dan orang asing. Kita berada di tengah dan tidak boleh memihak salah satu. Penyampaian penerjemahan yang salah bisa memicu pertengkaran hingga memutus hubungan kerjasama antara dua belah pihak. Kalau kita tidak bisa rileks, bisa-bisa ikut stres lalu blaaar menangis di tempat (untung saja sejauh ini saya bisa melakukan manajemen stres cukup baik ketika sedang menerjemahkan).


Itulah secuplik tantangan saat bertugas menjadi interpreter. Profesi ini sungguh saya cintai, di samping aktivitas menulis. Pekerjaan yang mempertemukan saya dengan beragam karakter dan tantangan tak terduga, turut mengasah kemampuan saya dalam menghadapi masalah yang lain. Ganbarimasu!


2 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

makasih sharingnya

Reffi Dhinar mengatakan...

Sama2, semoga bermanfaat 😊