Ketakutan dalam Menulis



Cukup lama juga saya tidak menulis tentang hal yang menggelitik opini saya. Kali ini kepala dan tangan saya tidak sabar untuk menuliskan tentang ketakutan dalam menulis. Saya bahkan sempat berhenti tidak menulis sama sekali selama seminggu, hanya membaca buku dan nonton drakor, lalu bersantai. Yang saya cari adalah apa penyebab ketakutan dalam menulis yang mendadak muncul tanpa permisi itu?


Jika ada teman-teman pembaca yang mungkin rajin menyambangi blog ini atau membaca buku saya, bisa jadi berpikir jika ada saja ide tulisan di kepala saya. Sering sekali komentar di kolom media sosial kurang lebih seperti ini.


“Wah, Kak, bagaimana ide menulisnya tidak pernah habis?”

“Kreatif sekali bisa menulis fiksi dan nonfiksi.”

“Kak, ajari saya menulis.”


Ya, saya memang membuat kelas menulis artikel sejak setahun lalu dengan nama Wordholic Class. Apa yang saya pelajari belumlah banyak dan ketakutan dalam menulis ini tidak berhubungan dengan kurangnya ide atau tentang kelas menulis yang saya ampu.

 

Karya yang Biasa-biasa Saja

Ketika membaca karya-karya saya yang telah terbit—baik yang lolos lomba atau seleksi—ada perasaan karya tersebut tidak sebagus yang saya inginkan. Ketakutan dalam menulis yang lumayan sering menyambangi ini ternyata mencapai pikiran saya. Dulu saya pikir, ketakutan seperti ini hanya akan berlangsung sementara dan tidak akan mengganggu produktivitas berkarya.


Nyatanya saya salah.


Untuk pertama kalinya di tahun ini, saya takut untuk menulis novel. Naskah-naskah yang berhasil diterbitkan dari seleksi perlombaan pun tak membuat mendung di hati saya pergi. Membaca review, feedback, dukungan, tidak membuat semangat menulis saya menguat.  Melihat karya kawan-kawan lain mendapat atensi luar biasa dan juga memiliki ide penceritaan unik yang membuat mereka istimewa, membuat saya bahagia. Bahagia karena mereka berkarya dnegan fantastis, lalu merenungi karya sendiri yang seperti naskah kacangan.


ketakutan penulis
Sumber: Unsplash



Apakah cerita yang saya buat ini tidak berguna? Bagaimana caranya agar rasa percaya diri ini meningkat?

Dua pertanyaan tersebut terus bergantian di dalam otak. Saya menulis artikel dan bekerja di kantor juga, bayangkan saja betapa susah menghalau pikiran yang ngelantur ini agar tidak merusak mood tiap harinya. Lalu muncul perasaan cemas akan kemampuan menulis yang begitu-begitu saja.


My head is fulfilled with the anxiety, fear, and worry. Ini bukanlah hal yang enak. Saya merasakan jika hal ini dibiarkan maka alarm bahaya akan segera mendekat. Saya pun berusaha menyibukkan pikiran dengan hobi selain menulis agar tidak sampai tertekan terus-menerus.


Cahaya Itu Datang dari Diri

Ketakutan dalam menulis lainnya adalah kontradiksi dari hal yang pertama. Jika awalnya takut jika naskah-naskah saya kurang bagus, bagian kedua itu adalah takut jika otak benar-benar berhenti untuk mencari ide. Menulis fiksi yang seharusnya menjadi kegiatan paling menyenangkan, kin menjadi sumber kekhawatiran.


Tidak ada satupun buku motivasi dan pengembangan diri yang dapat menolong saya agar tidak terlalu banyak berpikir. Dialog hangat dengan keluarga dan teman hanya mengalihkan emosi sementara, ketika saya sendiri di dalam kamar, maka cemas itu kembali hadir. Sampai akhirnya saya mencapai satu kesimpulan.

ketakutan penulis
(Sumber: unsplash)



“Tidak ada yang bisa menolong diri, selain diri kita sendiri.”


Entah karena apa, di dalam satu momen  merenung yang cukup menyenangkan di dalam kamar kos, mendadak muncul imajinasi begini. “Kok kebahagiaanku sekarang bergantung sama tulisan sih? Lama-lama jadi toxic nih.”


Saya sadar dengan kesalahan terbesar yang membuat pikiran-pikiran buruk soal menulis tak bisa hilang dalam beberapa minggu ini. Kesalahan tersebut adalah meletakkan ekspektasi terlalu tinggi pada hal yang disukai. Saya suka menulis dan saya sangat suka berbagi ilmu tulisan, namun ekspektasi untuk begini dan begitu membuat proses berkarya mulai menjadi beban.


Ketika saya ingin mendapatkan hal yang lebih dari menulis dan ada rasa ingin segera mengakhiri proses, bencana itu dimulai. Untung cahaya kebenaran itu datang sendiri setelah saya lama merenungkan soal ini. Ketika saya membaca buku Choose Wonder Over Worry karya Amber Rae, saya seolah menemukan jawabannya. Lucu sekali, pada akhirnya saya mendapat pencerahan dari buku (alhamdulillah Allah mendengar semua keluh kesah saya, hehehe).


Saya terlalu mendengarkan rasa cemas tentang keberhasilan. Saya terlalu khawatir jika diri ini tidak bisa sesukses kawan penulis lainnya. Saya cemas jika tulisan-tulisan dan buku yang saya buat bukanlah karya yang pantas dibanggakan. Dari membaca buku itu, saya tahu jika rasa ingin tahu saya yang biasanya besar mulai digeser dengan pikiran cemas meluap-luap yang bersumber dari rasa takut.

 

Belajar Bukan Hanya Soal Meniti Kesuksesan

Setelah mengurai dan menemukan inti masalah ketakutan dalam menulis yang saya alami, kini saya mulai bisa menulis lebih santai lagi. Tenggat waktu dari klien bisa saya kerjakan dengan baik sembari memperbaiki naskah yang akan saya ajukan lagi. Terlalu memikirkan soal kecemasan membuat saya lupa jika ada satu buku nonfiksi saya yang lolos penerbit mayor dalam bentuk digital. Hmm, saya kurang bersyukur. Proyek menulis artikel dan juga kelas menulis Wordholic Class mulai berjalan lagi. Saya  dapat menulis fiksi  untuk bersenang-senang dengan imajinasi lagi.

 


Ketika tulisan ini akhirnya selesai, saya tak lagi terbangun tengah malam lalu menatap langit-langit dengan kalimat berputar di kepala. Saya tersenyum pada diri sendiri, meminta maaf karena membebani hati dengan ekspektasi dan kekhawatiran. Ketakutan dalam menulis ini menunjukkan jika saya memang manusia biasa. Bisa jadi nanti saya akan merasa cemas akan hal lain namun saya tahu  Tuhan akan menunjukkan jawaban jika saya bertanya. Jawaban itu seringkali ada di dalam diri kita.

 

6 komentar

Adinda Tami mengatakan...

Mulai merasakan juga mba Reffi. Kalau aku mungkin terlalu banyak pekerjaan, jadi nulis bukan kegiatan yang benar2 menyenangkan seperti sebelumnya. Semoga sih ga bertahan lama

Reffi Dhinar mengatakan...

Rehat dulu mbak kaya saya semingguan, lalu pilah lagi tujuan menulisnya apa murni keinginan atau sudah dibebani ekspektasi kelewat tinggi? Be honest to yourself :)

Fransisca Williana Nana mengatakan...

Memang dalangnya kecemasan lahir dari pikiran kita sendiri dan solusi terbaiknya juga dari pikiran kita sendiri, begitu ya mas?

Saya juga sempat cemas ketika sibuk kekantor setiap hari dan enggak ada waktu untuk menulis karena ketika pulang kerja, badan dan otak udah capek. Untuk duduk menghadap laptop aja gak kuat, akhirnya saya mengisi hari libur di sabtu minggu dengan menulis sebagai gantinya supaya otak terus berimajinasi dalam tulisan hehe.

Reffi Dhinar mengatakan...

Bener jangan memaksakan diri berlebihan. Supaya nulis jadi hal yang nyenengin emang harus bertanya lagi ke dalam diri apa yang .perlu dibenahi

Ainun mengatakan...

tidak ada yang bisa menolong selain diri kita sendiri, bener juga ini mba
yang tau kemampuan diri adalah ya kita sendiri
kalau sudah sumpek, biasanya ambil istirahat bentar, ketemu sohib juga

Tira Soekardi mengatakan...

betuyl sekali, makasih sharingnya. yang bisa mengalahkan keatkutan ya diri sendiri