Label Diri, The Brand is Me



Suatu hari saya mendapatkan pertanyaan. Pertanyaan ini juga tidak sekali saya terima. Rata-rata penasaran, saya ingin dikenal sebagai penulis genre apa. Mengapa mendadak muncul dengan genre thriller setelah sebelumnya sering menulis dalam genre young-adult romance. Malah di akhir tahun lalu saya juga menerbitkan picture book anak 16 halaman.

Momen-momen mendapat pertanyaan seperti itu sebenarnya tidak terlalu membuat saya nyaman. Makanya selalu saya jawab, “Saya adalah seorang wordholic, pecandu kata yang juga bisa membisniskan kata dan bahasa. I am wordpreneur.”

Selain berkecimpung di dunia fiksi, saya juga menekuni dunia content writing secara profesional. Sudah banyak berbagai klien bekerjasama dengan saya baik sebagai narablog maupun sebagai ghost writer di website klien. Sebagai content writer, malah saya wajib menulis dalam berbagai bidang seperti kecantikan, traveling, sampai kesehatan ibu dan anak.

Apakah saya tidak fokus dalam membuat personal branding?

Kadang saya berpikir seperti ini. Namun, masalahnya bukan soal coba-coba. Apa yang saya lakukan semuanya mendapat perhatian 100% ketika sedang dalam proses pengerjaan. Saya pun telah mengenyampingkan beberapa hal lain demi fokus di bidang-bidang yang saya geluti. Orang lain mungkin menilai saya sebagai generalis, padahal saya juga tidak asal menjajal semua bidang.

 

Seni Fokus Pada Minat

Setelah membaca buku Keep Going On dan Steal Like An Artist karya Austin Kleon, saya menemukan banyak kesamaan dengan ide di dalam buku tersebut. Saya tidak suka dikotak-kotakkan dalam satu bidang tertentu. Meskipun melakukan hal-hal yang terkesan kurang nyambung, pada dasarnya ada satu benang merah yang menyatukan semuanya. Benang merah itu pikiran saya. Sayalah pusatnya.

Hobi nonton drakor dan anime, mengantarkan saya suka menulis teori dan pendapat di Twitter dalam thread panjang. Nyatanya, hal ini malah disukai oleh mereka yang menyukai bidang yang sama. Selain itu kesukaan saya dalam belajar bahasa Inggris dan Jepang, membuat saya paham dengan tulisan para seniman dalam dua bahasa tersebut. Thread yang saya tulis dalam bahasa Inggris juga mempertemukan saya dengan kawan dari berbagai negara.


Unsplash (@thoughtcatalog)


Lihat, semua masih mengerucut pada dua bidang besar yang saya tekuni sejak kecil yaitu menulis dan bahasa asing. Tanpa sadar, saya menguasai seni fokus pada minat sampai menghasilkan sesuatu yang berarti, yang powerful, setidaknya untuk diri sendiri. Caranya seperti ini:


1# Cari di dalam diri lalu tekuni

          Untuk menemukan apa yang kita minati, sebenarnya sangat mudah. Temukan hal apa yang sering kita bicarakan dengan berapi-api. Hal itu juga membuat kita rela meluangkan waktu dan melupakan kesenangan lainnya.

          Sejak kecil saya selau tertarik dengan kamus yang bahasanya tidak saya pahami. Saya juga sangat suka menonton acara  Putri Indonesia dnegan kontestan yang bisa berbicara dalam beberapa bahasa. Setelah lancar membaca, saya tersihir dengan pesona kata-kata dalam cerita hingga ingin bisa menjadi penulis yang serupa.

      Beruntungnya, orang tua mendukung. Jadi mereka mencarikan guru les privat bahasa Inggris setelah saya merengek sampai menangis untuk menekuni bahasanya di usia 8 tahun.  Setelah merasa mampu berbahasa Inggris, saya pun ingin belajar bahasa Jepang karena kesukaan pada anime. Aktivitas menulis saya lakukan dengan membuat cerita di halaman-halaman belakang buku pelajaran.

2# Memberikan perhatian penuh tanpa ambisi

Setelah kuliah bahasa Jepang dan mulai memiliki angan-angan untuk menjadi Japanese Interpreter atau translator, saya mulai mengeksplor bahasa lain yaitu Korea. Namun, sebelum memutuskan belajar Korea, saya sempat membeli buku bahasa Prancis. Minat itu muncul karena saya merasa bahasa Prancis itu seksi. Nyatanya, semangat belajar tidak bertahan lama.

Dalam belajar bahasa, saya hanya memberikan perhatian penuh. Tujuan belajar jelas ada, tetapi tidak diwarnai ambisi yang terlalu berlebihan. Contohnya, untuk menjadi Japanese Interpreter, saya sadar jika ikut kursus saja belum mencukupi. Maka saya putuskan untuk kuliah di jurusan Sastra Jepang dan belajar tekun dalam waktu yang tidak sebentar.

Target yang saya buat selalu tinggi, tetapi masih bisa saya ukur dengan tangan. Misalnya, ingin lulus N2, setelah gagal 3 kali, maka saya putuskan untuk serius belajar selama setahun. Ada hitung-hitungannya agar tidak menyiksa diri sendiri. Orang lain mungkin bisa belajar selama 6 bulan, tetapi saya masih suka hang out dan traveling, jadi gaya belajar penuh ketegangan tidak cocok buat saya.


Eksplorasi tanpa rasa bersalah

Saya adalah pembaca buku berbagai genre. Hampir semua jenis buku populer saya lahap mulai dari psikologi, bisnis, novel, pengembangan diri, biografi, komik Webtoon, cerpen, puisi, dan esai. Dalam novel pun yang saya baca mulai dari romance, fantasi, dan thriller.

Unsplash (@alessandroerbetta)


1# Ikuti rasa ingin tahu

Ketika muncul ide menulis dari genre berbeda-beda, saya terima itu. Saya eksplorasi sampai mendapatkan satu titik, apakah hal ini perlu saya tekuni atau saya biarkan berlalu?

Saya ikut kelas menulis resensi, ternyata saya hanya suka menulis review di Instagram dan sesekali di blog. Saya suka membaca kumpulan cerpen, ternyata saya lebih suka menulis novel. Tidak ada yang saya sesali selama proses belajar.

Hingga saya tahu tentang dua hal yang harus berjalan beriringan. Melakukan sesuatu untuk menyambung hidup dan membuat jiwa agar tetap kaya, tidak boleh salah porsinya. Saya menghidupi diri sebagai staf penerjemah bahasa Jepang dan content writer karena di bagian inilah genius zone saya bergema kuat.

Menulis novel menjadi semacam aktualisasi diri. Iya, saya tetap promosi dan juga menulis dengan sungguh-sungguh. Review dari editor pun saya pelajari dengan senang hati. Akan tetapi, saya tidak stres memikirkan hasil penjualan. Kesukaan saya adalah menulis seasyik mungkin, sebagus mungkin, lalu menunjukkanya pada dunia dengan penuh cinta. Promosi itu bagian dari wujud cinta saya.

Unsplash (@austinchan)


2# Tetap realistis

Cari sesuatu yang bisa memberi penghasilan dengan layak, sambil berkarya untuk membuat jiwa kita tetap bahagia. Mungkin pekerjaan utama itu belum sesuai passion, tetapi berkarya dengan perut lapar dan lilitan utang malah mudah membuat kita depresi. Itu bukanlah jenis kehidupan yang bisa dibanggakan.

Lalu beberapa tahun ini saya malah menemukan satu genius zone lagi. Saya suka berbagi dalam kelas-kelas kepenulisan. Kalau semuanya digabungkan menjadi satu, maka saya bisa disebut sebagai penulis. Itu saja sudah cukup, tanpa embel-embel penulis romance, penulis anak, bla bla bla.

Namun, saya kagum dengan mereka yang fokus pada satu bidang hingga menjadi profesional. Jika memang sukanya menulis thriller saja, ya silakan menulis itu saja. Dalam tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa, menjadi penulis satu genre, juga sama baiknya dengan penulis berbagai genre, atau yang punya profesi di luar menulis.

 

 

The Brand is Me

“Kalau ada yang mengenal saya sebagai content writer, saya sangat senang. Jika ada yang tahu kemampuan saya sebagai Japanese Interpreter, saya sangat gembira. Bila ada yang mengenal saya dari novel yang mereka baca, tentu membuat hati hangat. Intinya silakan membuat interpretasi apapun sesuai karya yang kalian ketahui.”


Unsplash (@brokelark)


Baik podcast, blog, buku antologi, buku solo, dan kelas menulis itu semua wujud dari diri saya. Pecahan-pecahan ide yang tidak bisa dijadikan tolok ukur siapa diri saya. If you want to know me, we should have a deep talk for hours and years.

 

Saya adalah seorang wordpreneur, penjual kata-kata dan bahasa. Menghibur lewat abjad yang kalian dengar atau kalian baca. The brand is me. And you call me, Reffi.

1 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

makasih sharingnya