Memaknai New Normal yang Sudah Ada Sejak Zaman Purba

memaknai new normal



Seseorang bertanya kepada saya lewat pesan di WhatsApp terkait cerita soal wabah Black Death yang pernah saya singgung sedikit di story. Saya jawab bahwa bumi memang punya mekanisme 'pembersihan diri' yang memaksa manusia untuk ADAPTASI. Lalu merujuk pada situasi New Normal (Kenormalan Baru), saya jadi teringat dengan beberapa fase sejarah peradaban pada masa lampau.

Menurut Wikipedia, Kenormalan Baru adalah sebuah kebiasaan, tatanan, kelaziman, dan kewajaran baru yang berkaitan dengan bisnis dan ekonomi merujuk kepada kondisi keuangan setelah krisis 2007-2008, resesi global 2008-2012, dan pandemi COVID-19. 

Oya, saya bukan ahli sejarah. Artikel ini murni pendapat saya sebagai pengamat amatir yang saya hubungkan dengan kehidupan saya sendiri. Ini membantu saya untuk mengolah cara pandang terhadap dunia.

Perubahan Dunia Menandakan Perubahan Cara Hidup

Saya sangat suka menonton acara Discovery Channel saat masih kecil dan salah satu topik yang saya suka adalah bagian sejarah peradaban manusia. Bahkan, kita juga belajar mengenai evolusi bumi dan manusia, bukan? Walaupun saya kurang percaya dengan keabsahan teori Darwin mengenai manusia (saya percaya kalau Adam dan Hawa yang menjadi leluhur, bukan simpanse), saya merasa kagum dengan proses perubahan peradaban.

Setidaknya dari proses tersebut, saya tahu jika ada Dzat Maha Besar dan Agung yang mengatur segalanya. Bagi saya yang seorang muslim, apa yang terjadi pada Bumi dan manusia menunjukkan kekuasaan yang tidak bisa dinalar manusia dengan segala kelemahan.

Manusia memang kalah kalau dilihat dari postur dan kekuatan, tetapi kita diberi akal. Itulah sebabnya mereka bisa mengalahkan mammot hingga harimau bergigi pedang. Bulu binatang buruan diproses menjadi pelindung tubuh sementara dagingnya dijadikan konsumsi pribadi hingga kelompok. Manusia beradaptasi pula dengan melakukan migrasi. 

Sumber: Kompas



Migrasi dilakukan ketika benua masih saling terhubung dan mereka mencari iklim yang lebih baik atau sumber makanan yang lebih banyak. Dari zaman Paleolitikum sampai modern, manusia terus berkembang daya nalarnya. 

Namun, kita tidak bisa menghindari penyakit dan bencana alam. Inilah perubahan yang berada di laur kontrol. Kenormalan baru terjadi ketika bumi memasuki Zaman Es. Manusia mencari cara bertahan hidup. Dari yang semula tidak berpakaian atau mengenakan bulu binatang sekadarnya, pada Zaman Es mereka jadi tahu cara menggunakan api untuk menghangatkan diri dan bulu apa yang paling hangat.

Ketika Manusia Tidak Lagi Nomaden

Manusia tidak lagi hidup berpindah-pindah atau nomaden sejak memasuki era Mesolitikum. Mereka mencari daerah yang subur dan mudah mendapatkan air sehingga membangun rumah di tepi sungai. Gua tidak lagi menjadi tempat tinggal, melainkan rumah. Agar terhindar dari serangan hewan buas, dibuatlah rumah panggung dengan atap agar menjadi hunian nyaman.

Kenormalan baru yang secara alami terjadi karena bakat adaptif manusia. Dua spesies manusia yaitu Neanderthal dan Homo Erectus punah karena mereka tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim yang sangat ekstrem puluhan ribu tahun lalu. Tersisa Homo Sapiens yang hidup hingga melahirkan kita semua di bumi. 

Dua spesies manusia tidak sanggup beradaptasi dengan Kenormalan Baru meski mereka berjuang dengan mencari tempat bermukim yang lebih hangat. Tentu saja masih menyisakan misteri, mengapa mereka tidak bisa mencari solusi? Kembali lagi ini disebut dengan siklus. Tuhan mengatur agar Homo Sapiens menjadi leluhur manusia modern. 

Ketika manusia terus beranak-pinak dan bumi semakin sesak, budaya pun terbentuk. Kini peradaban berubah bukan karena peristiwa alam. Kita memasuki era animisme serta dinamisme. Manusia mulai mencari sesuatu yang tidak terlihat untuk disembah. Agama pun berkembang untuk menjadi penuntun.

Seharusnya kita berpikir sejak politik muncul

Apa yang saya lakukan di masa Kenormalan Baru? Tahun lalu benar saya tegang dan paranoid, terutama setelah mengalami sendiri terkena efek pandemi dan sakit. Namun, akhirnya saya memilih untuk melakukan praktik Stoicism dan Mindfulness. 

Mencegah memang penting, tetapi saya tidak ingin dibatasi ruang gerak. Vaksin pun saya jalani, meskipun saya membaca beberapa teori konspirasi yang membuat ruang pertanyaan di kepala saya semakin membesar. Kuncinya saya ingin beradaptasi. Adaptasi termasuk dalam ruang berpikir di bidang politik (sesuatu yang saya benci beberapa tahun sebelumnya).

Politik ternyata tidak hanya terkait dengan pemilu dan korupsi. Ketika saya memutar otak agar usulan diterima atasan atau menego harga dengan klien dengan memberikan pelayanan terbaik, bukankah ini politik juga? Ada strategi untuk mendapatkan keinginan yang kita peroleh. Yang saya pelajari, tentu saja saya tidak ingin menjadi culas. Jadilah orang baik yang tidak bodoh.

Menggunakan nalar dalam Kenormalan Baru

Apa tujuan saya menulis ini? Tidak lebih hanya ingin menyampaikan bahwa perubahan iklim dan tatanan hidup yang besar di era Kenormalan Baru ini tidak seharusnya membuat kita tertekan. Seimbangkan antara bekerja keras dan juga menghibur diri. Bangun hubungan yang bermakna. 

Mungkin kita mencari cara agar hidup lebih panjang dan mempercantik bumi, tetapi jangan lupa dengan membahagiakan diri sendiri. Ingatlah wabah Black Death, meletusnya gunung Krakatau, Perang Dunia, hingga Revolusi Industri. Kita semua sudah melewati sejarah panjang yang tidak normal pada masanya, sampai mengubah cara berpikir dan hidup. 

Semoga tulisan pendek ini bisa menjadi bahan renungan yang dalam. Secukupnya :)

4 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

Makasih sharingnya

Ainun mengatakan...

dari judulnya sudah bikin penasaran
dipikir-pikir bener juga ya, dari zaman purba atau minimal waktu perang dunia misalnya, setelahnya manusia juga perlu waktu untuk beradaptasi lagi dan tetep waspada setelah ada perang.

Reffi Dhinar mengatakan...

Iya betul, hidup kita itu dipenuhi Kenormalan Baru.Orang yang berpacaran lama lalu gagal, dia butuh adaptasi menjadi lajang dan menghapus 'jet lag' ketergantungan perasaan. Saat kita kehilangan keluarga karena maut, kita juga beradaptasi dengan ingatan tentang kematian. Jadi ada apapun di dunia, selama yang di dalam pikiran dan perasaan kita sadar dan memaklumi ini di luar kontrol kita, perasaan (semoga) bisa lebih damai :)

fanny_dcatqueen mengatakan...

Manusia itu sebenernya terbiasa dengan zona nyaman. Jadi di saat ada kejadian ekstreme di mana zona nyamannya terusik, dia langsung bereaksi. Ada yg mengalah utk mengikuti arus, tapi ada yg melawan utk bertahan di zona nyaman. Yg mana winnernya kebanyakan dari orang-orang yang mengikuti dan mau berubah sesuai zaman.

Aku juga gitu. Dulu atasan pernah ngomong, jgn pernah berada di zona nyaman. Kamu ga akan maju. Di saat kondisi sedang begini, ya mau ga mau kita harus adaptasi. Banyakin belajar hal baru, terbiasa dengan perubahan dan teknologi baru, supaya ga kaget dan bisa terbiasa.

Awalnya pasti berat, namanya aja msh di tahap belajar dan membiasakan diri. Tapi setelah terbiasa, akan terasa mudah .