Melintasi Dua Masa di Georgetown, Penang



Hari kedua perjalanan semi backpacker saya dan Lita berlanjut. Kami berencana terbang dari Singapura ke Penang, Malaysia dengan maskapai Air Asia. Hujan deras mengguyur sekiar The Hive sejak subuh. Saya jadi agak-agak cemas membayangkan kalau kami harus jalan kaki dengan sedikit berlari-lari karena tidak memiliki payung. Uang saku kami juga sangat mepet kalau harus naik taksi lagi.


Syukurlah hujan mulai menjadi gerimis ketika pukul tujuh pagi. Kami harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit dari stasiun Boon Keng menuju Changi dengan MRT. Perut saya mulai lapar. Maklum, ini waktunya sarapan apalagi saya yang sudah cukup sehat lambungnya setelah bertahun-tahun GERD cukup akut ini tidak bisa melakukan brunch. Saya hanya bisa makan berat dua kali saat puasa saja, hehe. 


Mata saya terus berkelana mencari restoran kecil atau pedagang kaki lima. Lalu saya ingat, ini, kan Singapura. Saat ke KL pada 2019, saya bisa sarapan roti canai di dekat hotel yang dekat dengan banyak penjaja makanan kaki lima atau tempat makan kecil. Saat saya sampai di Singapura, saya tidak menemukannya. Untungnya, mata saya yang seperti ada magnetnya kalau menemukan makanan hingga menemukan papan KFC. Saya menarik tangan Lita untuk menyeberang sambil menggeret koper kami. 


Kali ini saya dan Lita sudah lebih paham dengan jalur MRT yang pada awalnya membuat kami tersesat dan menghabiskan uang tunai untuk naik Grab Taxi. Bonusnya, sih, memang kami bisa naik mobil mewah. Kalau diingat-ingat lucu juga drama tersesat kami sebelumnya. Saya dan Lita naik MRT dari stasiun Boon Keng menuju Changi.


Beberapa kali ganti jalur, akhirnya kami menuju Stasiun Tanah Merah. Ada bonus lagi. Kami satu gerbong kereta dengan beberapa pemuda bule dan Asia yang super tinggi. Kelihatannya mereka ini anggota militer. Sepanjang perjalanan menuju Changi, saya dan Lita merasa senang karena ada wajah-wajah tampan seperti artis yang bisa dilirik sesekali. Lumayan, penyegaran, hahaha.



Terbang Menuju Pulau Penang

Penerbangan kedua kali ini menuju Pulau Penang atau Pinang. Oya, ada hal yang membuat saya sangat suka dengan sistem bandara Changi. Selain megah dan juga bisa jadi area jalan-jalan kece, sistem cek visanya juga bisa dilakukan mandiri, tanpa perlu petugas imigrasi. Saya takjub dengan prosesnya yang cukup singkat.


Saya dan Lita naik Scoot lagi menuju Penang. Tujuan kami nanti menginap di area Georgetown selama dua hari satu malam. Ya, sebenarnya kami ingin stay lebih lama, tetapi apa daya sebagai sesama budak korporat, saya dan Lita tidak bisa cuti lama-lama. Durasi dari Singapura ke Penang sekitar satu jam. Hampir sama seperti jarak Surabaya-Jakarta.


Ketika pengumuman akan mendarat diperdengarkan, saya kagum melihat pulau modern dengan bangunan-bangunan cantik dikelilingi laut. Cantik banget sampai saya bersyukur dalam hati, "Alhamdulilillah bisa menjadi saksi kebesaran Allah di mana saja."


Saya membeli kartu provider lokal sesampainya di bandara Penang International Airport. Hanya dengan 20 ringgit, saya bisa mendapatkan 15 GB untuk satu minggu. Jauh lebih murah daripada provider yang saya beli di Singapura. Karena besok lusanya saya akan pulang dari Kuala lumpur, maka kartu ini sudah lebih dari cukup. Saya bisa menggunakannya di seluruh wilayah Malaysia. 


In frame sahabat saya, Lita

Sejarah singkat Penang dan Georgetown


Pulau Penang terletak di sebelah Selat Malaka dan Georgetown didirikan sebagai sebuah pelabuhan oleh Francis Light dari East India Company pada tahun 1786. Area pulau ini pun berkembang sebagai pemukiman Inggris pertama di Asia Tenggara hingga tumbuh pesat di awal abad ke-19.


Menurut catatan yang saya baca dari Wikipedia, Jepang sempat menaklukkan kota ini hingga direbut oleh Inggris. Georgetown dinyatakan sebagai kota oleh Ratu Elizabeth II. Pada era modern, Georgetown merupakan pusat seni, budaya, manufaktur, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan media yang penting di Malaysia. Kota ini masih menjadi pusat ekonomi Semenanjung Malaysia bagian utara, dan sejak tahun 1970-an, Kawasan Industri Bebas Bayan Lepas, sebuah pusat manufaktur berteknologi tinggi dijuluki sebagai "Sillicon valley di Timur", menjadi pusat industri manufaktur elektronik Malaysia. Georgetown juga dikenal sebagai kota pengobatan.


Memasuki area Armenian Street

Berpetualang di suasana Hongkong 60-an

Dari bandara, saya dan Lita menuju hotel Gerden Inn dengan mengendarai taksi bandara. Harganya sekitar 40 ringgit. Bisa saja, sih, kami naik bus, tetapi melihat rutenya yang sering berhenti, saya mengajak Lita untuk naik taksi saja agar lebih cepat. Kami hanya punya waktu dua hari di Georgetown.


Street Art


Sepanjang perjalanan, saya menikmati lalu lintas Penang yang cukup lancar. Saya tidak mendapati pengendara motor bonceng tiga apalagi sampai empat seperti di Indonesia. Tidak ada pengemudi mobil yang menekan klakson ketika lampu merah lalu lintas menyala. Cukup chill dan rileks suasananya.



Setelah membereskan barang dan bersih-bersih badan di hotel, saya dan Lita ingin pergi ke kawasan street art yang sangat populer bagi kaum wisatawan. Tujuan kami adalah Armenian Street. Sebelum itu, saya ingin membeli suvenir dan membuka Google untuk mencari rekomendasi. Tertera pasar di kawasan Lebuh Cecil. Saya dan Lita berani untuk keliling naik Grab Taksi di Georgetown karena ongkosnya tidak jauh beda dengan Indonesia. Untung kurs Ringgit dan Rupiah tidak semahal Dolar Singapura yang mencapai 11000 per rupiah. 


Harapan saya pupus ketika sampai di Lebuh Cecil. Ternyata itu semacam kawasan pasar tradisional yang baunya kurang ramah buat saya yang memang sangat sensitif di bagian penciuman dan pendengaran. Karena baru saja hujan, aroma sampah dan sayur-sayuran bercampur membuat perut saya mual. Suasana pasarnya juga penuh hiruk-pikuk. Saya tidak bisa makan siang di tempat dengan orang seramai itu dengan aroma khas pasar tradisional yang membuat kepala pusing.



Pemukiman ala Hongkong 60-an


Saya juga tidak menemukan suvenir yang saya maksud. Tidak ada makanan halal di Pasar Lebuh Cecil sehingga saya memesan Grab lagi untuk menuju Armenian Street. Benar saja, saya langsung jatuh cinta dengan kawasan tersebut. Selain mural-mural cantik di Armenian Street, saya juga suka dengan bangunan-bangunan khas yang membawa saya masuk ke film Hongkong 60-an. Saya jadi teringat dengan setting film Ip Man yang dibintangi Donnie Yen.

(Baca Juga: Menyusuri Peneleh dan Secuil Kisah Bung Karno)



Tidak sulit untuk menemukan tempat makan halal di Armenian Street. Sebelum keliling untuk foto-foto di daerah street art, saya mengisi perut dulu. Cuaca bulan November di Georgetown cukup lembab. Panas dan hujan datang bergantian. Saya dan Lita melipir sejenak ke toko cinderamata untuk membeli tas dan gantungan kunci khas Penang.




Sebagai pecinta bangunan bersejarah, saya juga menikmati momen ketika jalan kaki di sini. Rasanya cocok banget untuk slow living. Petualangan pertama ini berlanjut ke petualangan lebih seru lainnya yang akan saya ceritakan, ya. Keliling di Armenian Street ini membuat saya betah. Rupanya masih ada bagian-bagian yang nantinya membuat saya berdecak kagum lebih banyak lagi.

(Baca Juga: Satu Hari Jalan Kaki di Singapura dan Dramanya)




2 komentar

fanny_dcatqueen mengatakan...

Aku seneng baca ttg Penang 😍😍. Buatku Penang masih jadi second home mba. Juli besok aku mau ke Penang, seminggu. Sengaja ga mau kota lain, pengen full seminggu di Penang. Kangen banget soalnya. Mau ke kampusku dulu juga .

Jujur aku pun lupa Ama jalan2 di Penang. Pas kuliah dulu aku bukan tipe yg suka jalan. Beneran fokus belajar biar ga ada subject yg failed. Soalnya di sana, kalo ada yg failed, ngulangnya 1 semester, bukan cuma subject itu doang 🤣🤣. Kan mahaal jadinya

Tapi memang aku ga kuat Ama cuaca Penang yg terlalu lembab mba. Baru keluar sebentar aja udh banjir keringat.

Ainun mengatakan...

explore Penang vibesnya kayak mudik ke rumah nenek, bangunan tuanya mengingatkan tahun 80 atau 90an.
Mau didatengin beberapa kali, kayaknya ga bosen liburan ke Penang