Mengintip Jejak Yahudi di Surabaya Bareng Bersukariawalk Sby






Sabtu lalu tanggal 24 Mei, saya kangen untuk melakukan walking tour. Akhirnya, saya iseng mencari tahu rute yang ada di Bersukaria Walk Surabaya. Wah, asyik nih. Yang tidak saya duga, nantinya di rute Kayoon Berayun ini, saya dan peserta lainnya bisa mengintip jejak Yahudi sejak zaman penjajahan di Surabaya.




Tur jalan kaki kali ini dipandu Kak Anis sebagai storyteller. Pencerita keren lulusan Andropologi ini menambahkan fakta-fakta unik di tiap spot yang kami singgahi. Seperti apa perjalanan kami kali ini?

Mengenali Sejarah Awal Daerah Kayoon

Cuaca pagi itu campur-campur rasanya. Langit mendung karena sejak pagi turun hujan sampai saya waswas takut tidak bisa berangkat. Saya naik kereta komuter keberangkatan pukul 6 pagi dari Stasiun Sidoarjo dan turun Stasiun Gubeng.

Sebenarnya, perjalanan naik kereta komuter itu hanya menghabiskan 40 menitan, tetapi kereta dengan durasi itu datangnya pukul 8 sementara acara walking tour dimulai pukul 8 juga. Senangnya, ketika pukul setengah 6 pagi, hujan berhenti. Saya membawa payung lipat buat jaga-jaga karena mendungnya merata dari Sidoarjo ke Surabaya.

Sejarah Pasar Kayoon

Pasar Kayoon menjadi titik awal pertemuan dengan enam orang peserta walking tour lainnya. Mata saya adem melihat bunga-bunga segar dari toko-toko di depan pasar yang baru buka. Kalau kamu mau beli bunga segar atau pesan bunga papan di Surabaya, maka Pasar Kayoon inilah pusatnya.




Kak Anis bilang, "Pasar Kayoon berasal dari Kajoon yang artinya 'keinginan'. Kayoon dalam bahasa Jawa juga bisa berarti 'perjalanan kehidupan', jadi maknanya sangat puitis dan mendalam."

Menurut Kuncarsono Prasetyo, seorang pegiat sejarah dari komunitas Begandring Soerabaia, yang saya baca dari web Detik Jatim, kawasan Kayoon ternyata punya cerita asal-usul yang cukup menarik. Awalnya, area ini terbentuk dari endapan tanah yang mengendap perlahan di tepian Sungai Kalimas, sekitar awal abad ke-20.

Kalau menilik arsip foto dari tahun 1901, Sungai Kalimas saat itu tampak sangat lebar. Namun, seiring berjalannya waktu, proses alami pengendapan menciptakan daratan baru. Nah, daratan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pedagang untuk membuka lapak dan berjualan, menjadikan kawasan tersebut hidup dan ramai. 


Daerah Kayoon Favorit Para Ekspatriat Era Kolonial

Kawasan Kayoon ini jadi kawasan pemukiman favorit banyak orang Eropa saat dulu karena dekat dengan Sungai Kalimas. Banyak orang Eropa yang juga suka jalan-jalan dari dekat Apotik Simpang, menuju patung karapan sapi Basuki Rachmat, dan berakhir di Kayoon.

Kawasan Kayoon juga strategis karena dekat dengan kawasan Simpang, salah satu spot favorit tentu Balai Pemuda. 

Daerah Kayoon mulai jadi pusat penjualan bunga sejak pascakemerdekaaan setelah tahun 45. Puncak popularitasnya terjadai pada tahun 80-an. Surabaya itu kota panas terik menyengat, jadi agak mustahil kalau mau budidaya bunga segar warna-warni di sana. Makanya, bunga diambil dari kawasan Batu, Malang, dan Pasuruan.

"Kalau ngomongin soal buket bunga seperti yang juga banyak dijual di Pasar Kayoon, saya punya fun fact soal buket bunga," kata Kak Anis.

Buket bunga sudah dikenal sejak 2500 tahun lalu di Mesir kuno yang dipakai untuk menghias makam, perayaan, dan lainnya. Masyarakat Mesir kuno memaknai bunga-bunga sebagai simbol khusus salh satunya bunga teratai. Bunga teratai identik dengan Dew Ra yang dianggap sebagai Sang Pencipta.


Menyambangi Sejarah dari Bangunan yang Beralih Fungsi

Kurang afdal rasanya kalau ikut walking tour tanpa mampir ke beberapa spot bersejarah. Di perjalanan kali ini siapa sangka saya malah mendengarkan fakta yang lagi-lagi tidak saya dapatkan di buku sejarah. Surabaya ternyata pernah menjadi pusat ekonomi keluarga Yahudi dan ada keluarga yang sangat berpengaruh pada masa itu. 

Sisa Teknologi di Pintu Air Gubeng

Dari Pasar Kayoon, kami berjalan menuju Pintu Air Gubeng yang juga disebut sebagai Bendungan Karet. Bendungan ini menjadi penting karena dulu Sungai Kalimas tidak hanya menjadi sungai biasa, tetapi posisinya sangat penting bagi perdagangan di pusat kota Surabaya.




Dahulu sebelum Pelabuhan Perak dibangun, sungai ini juga bisa dilalui perahu. Namun, karena bentuk sungai ini berupa bendungan yang ketinggian daerah utara dan selatan berbeda, maka dibuatlah teknologi khusus agar perahu bisa melewatinya.


Dari selatan menuju utara bendungan, perahu masuk sebuah ruangan yang diisi air agar bisa terdorong ke bagian berikutnya. Teknologi ini sudah ada sejak 1400-an dan masih ada di Belanda dan visualisasinya bisa kita lihat di Terusan Panama.  Di bawah ini ada videonya.




Jejak Yahudi di Surabaya

"Kenapa kita berdiri di depan hotel ini? Dulu, ini jadi sinagoge untuk ibadah umat Yahudi di Surabaya," kata Kak Anis yang memicu decak kagum dari saya dan peserta lainnya.

Siapa sangka kalau Hotel Morazen yang desain arsitekturnya serba modern ini dulunya ada di bekas objek bersejarah. Kalau sampai ada sinagoge, berarti penduduk Yahudi di Surabaya terhitung banyak. Dari penjelasan Kak Anis berikutnya, kami semakin paham. Jumlah penduduk Yahudi di era Hindia Belanda itu paling banyak dan mencapai 500 orang.

Hotel Morazen



Mereka diberi keistimewaan untuk bekerja dan berbisnis dengan bebas. Agak sedih juga, sih, kalau ingat bagaimana orang pribumi diperlakukan pada masa itu. Orang Yahudi yang ada di Surabaya adalah keturunan Yahudi Baghdad atau Irak.

Bentuk Sinagoge



Orang Yahudi datang ke Hindia Belanda pada 1859 bersamaan dibukanya Terusan Suez. Salah satu tokoh Yahudi terkenal di Surabaya adalah Charles Musri yang leluhurnya sudah datang sejak abad ke-19 dan punya bisnis ekspor impor. 

Charles Musri adalah ayah dari Irwan Musri. Kalau sudah baca bagian ini, kamu pasti tidak asing, kan, dengan nama Irwan Musri? Hehe. Karena sentimen yang terjadi dengan kasus Gaza, pada 2009, MUI Jatim mengusulkan agar sinagoge dirobohkan, sampai akhirnya tidak berapa lama kemudian lahan sinagoge berubah menjadi Hotel Morazen.

Setelah kasus Nakba 1948 dan Krisis Suez pada 1956, orang Yahudi eksodus ke luar karena isu Anti Semit yang makin gencar. Orang-orang Yahudi di Surabaya pun merasa tidak aman, tetapi posisi Charles Musri tidak terusik sebagai orang berpengaruh karena ia banyak mendukung gerakan arek-arek Surabaya.

Jejak Konglomerat Keturunan Tionghoa 

Perjalanan kami berikutnya mengintip jejak konglomerat keturunan Tionghoa bernama Tan Tjwan Bie. Ada sebuah rumah super megah dengan halaman macam lapangan bola mini yang membuat mata saya terbelalak. Tan Tjwan Bie adalah pengusaha asal Malang yang mendirikan Pabrik Gula Kebon Agung pada 1905. Sepertinya karena kebanyakan duit sampai membangun rumah megah di Surabaya, nih.

Rumah Tan Tjwan Bie diarsiteki Citroen, arsitek terkenal yang membangun Gereja Blenduk Semarang dan Balai Pemuda. Rumahnya sangat megah yang terdiri dari tiga bagian yaitu rumah induk, paviliun 1, dan paviliun 2. Sayangnya, kami cuma bisa mengintip dari luar pagar. 


Berikutnya, kami berkumpul di depan bangunan Perkumpulan Marga Huang. Perkumpulan ini hanya ada di Jakarta dan Surabaya. Marga ini sudah ada sejak 3 ribu tahun lalu yang lalu merantau ke seluruh dunia.




Pada 1910, Yayasan Kuning Agung di Pontianak menjadi cikal bakal Perkumpulan Marga Huang. Keluarga Huang di Pontianak sangat dihormati karena kaya raya dan dekat dengan keraton setempat. Tujuan perkumpulan ini dibuat untuk menjaga persaudaraan dan solidaritas sesama marga Huang.

Dulu, jika ada Marga Huang yang meninggal, mereka bisa datang ke perkumpulan membawa lilin merah agar dicek apakah benar-benar marga Huang atau tidak. Jika benar, maka keluarga yang berduka akan dikunjungi anggota perkumpulan lainnya.

Perkumpulan ini di masa modern juga sering menyelenggarakan workshop atau acara sosial. Ada rapat akbar Marga Huang setahun sekali yang mempertemukan keturunan Marga Huang dari seluruh dunia. 

  
      Depan gardu listrik bersejarah



Spot terakhir adalah Wisma Jerman yang juga dekat dengan sebuah gardu listrik bersejarah. Kami mendengarkan dengan khidmat sampai acara walking tour selesai. Wah, siapa kira saya bisa mengintip jejak Yahudi di Surabaya dan terkagum dengan kisah old money di Surabaya. Julukan Crazy Rich Surabaya itu sepertinya sudah ada sejak era penjajahan, ya?





2 komentar

agus kurniawan mengatakan...

Menurut yang pernah ane baca, kalau jumlah penduduk yahudi di surabaya itu termasuk yang terbanyak di Indonesia....

Reffi Dhinar mengatakan...

Kalau tahun sekarang, saya kurang tahu, tapi melihat sejarah di era Hindia Belanda dan Surabaya termasuk didatangi orang Yahudi paling banyak masa itu, bisa aja mereka balik lagi setelah kasus Holocaust lama berlalu