Sore, Istri dari Masa Depan adalah film Indonesia yang baru-baru ini saya tonton. Filmnya memiliki sinematografi indah dan tema sedikit fantasi dengan drama yang memikat. Bercerita tentang Sore yang kembali ke masa lalu untuk menemui suaminya, Jo, sebelum mereka bertemu dan akhirnya menikah. Sore bilang jika ia ingin sekali membantu Jo agar bisa hidup lebih baik.
Saya tidak akan membuat review-nya. Ada beberapa hal menarik perhatian saya ketika menonton film tersebut. Jujur saja, saya tidak sampai terharu atau menangis ketika menonton dramanya karena memang tidak relate dengan karakter Sore yang berjuang sebegitunya demi Jo yang termasuk bebal. Sore berusaha ingin mengubah seseorang yang tidak ada niat untuk berubah. Pusing, kan?
Namun, setidaknya lewat catatan pendek di dalam artikel ini, saya ingin sekali berharap agar tidak ada perempuan yang nantinya menjadi seperti Sore karena kita tidak bisa mengulang waktu. Time loop yang akan kita alami bentuknya bukan kembali ke masa lalu, tetapi akan membuat kita terjebak di perasaan dan situasi yang sama buruknya meski bertemu orang yang berbeda.
Hal-Hal yang Saya Lihat dari The Fixer
Saya mencari jurnal yang menjelaskan mengapa ada anggapan ini yang muncul kebanyakan dari perempuan, tetapi belum menemukan. Sebetulnya, ini lebih ke karakter seseorang. Kamu bisa jadi seorang laki-laki yang begitu ingin mengubah kebiasaan buruk istri atau kekasihmu karena memang sifatnya begitu. Hanya saja, kebetulan saya menemukan fenomena ini di beberapa kawan perempuan.
Salah seorang kenalan perempuan saya memilih untuk memutuskan kekasihnya yang pekerja keras dan juga sedang mempersiapkan kebutuhannya untuk serius. Alasannya? Ia memilih laki-laki lain yang menjadi cinta pertamanya. Padahal, saya dan yang lainnya tahu kalau laki-laki pilihan kenalan saya ini punya karakter malas akut. Kuliah tidak selesai, berbisnis tidak beres, apalagi nanti kalau menikah?
"Kalau nikah, pasti dia berubah jadi tanggung jawab." Begitu kata kenalan saya.
Di kasus lainnya, ini terjadi di lingkungan pertemanan saya yang lainnya. Seorang gadis cantik dan ceria menikah dengan seorang 'anak mami'. Sudah banyak yang tidak setuju soal pilihannya, tetapi lagi-lagi ada harapan jika pernikahan akan mengubah karakter seseorang. Jadinya? Gagal dan perceraian pun tidak bisa terhindarkan. Sementara nasib kenalan saya yang satunya masih bertahan di pernikahan dengan banyak keluhan.
Sebutan untuk seseorang yang berusaha memperbaiki atau punya tendensi untuk ingin mempengaruhi orang terdekatnya agar bisa berubah seperti yang ia mau disebut dengan The Fixer, si tukang memperbaiki. Muncul pertanyaan di kepala saya. Kenapa ini sering saya temukan fenomenanya di perempuan? Apakah hanya karena perempuan dipengaruhi perasaan bukannya logika?
Ini Bukan Soal Perasaan Perempuan
Memang benar, perempuan memiliki hormon dan perasaan yang mempengaruhi pengambilan keputusannya. Namun, sebagai perempuan yang kata teman-teman terdekat lebih sering menggunakan logika dan kurang peka, saya pun mengkaji pengaruh lain yang membuat kita berusaha menerima apa adanya seseorang tanpa melihat lebih jauh.
Perempuan Dinilai Dari Usia
"Jangan kebanyakan milih, entar kamu jadi perawan tua!"
Apakah kamu pernah mendengar komentar ini? Saya yakin, kamu juga pernah, apalagi kalau kamu seperti saya yang masih melajang bukan karena tidak mau menikah, tapi memang belum bertemu yang sama visi dan misinya dalam pernikahan.
Padahal, menikah usia awal 20-an bukan jaminan pernikahan akan langgeng. Mau menikah muda atau menikah di usia matang, semuanya punya kans untuk langgeng dan bercerai. Cuma sebagai perempuan yang mengandung dan melahirkan dengan perubahan mental hingga fisik yang lebih berat, tentu kita ingin memilih pasangan yang mau membersamai prosesnya.
Ketika seorang perempuan sudah menikah sesuai standar usia 'apa kata orang', lalu belum dikaruniai momongan, pertanyaan itu akan terdengar seperti racun di telinga perempuan. Memangnya apakah kita bisa mengendalikan kapan kita bisa menikah, hamil, dan mati? Namun, sayangnya, masyarakat sekitar menilai kualitas perempuan dari usia.
Standar Bukanlah Pilihan Buat Perempuan
Kenapa saya bertemu dengna perempuan-perempuan dalam golongan The Fixer? Ya, salah satunya karena kita dituntut untuk 'tidak pilih-pilih'. Padahal, tiap orang punya kebutuhan berbeda. Salah satunya, kalau kamu tidak betah punya suami perokok karena punya gangguan pernapasan, lalu tetap mau-mau saja menikah dengan perokok berat dengan alasan 'cuma dia yang mau dan dikejar usia', bayangkan apa jadinya?
Kamu akan seperti Sore yang terjebak untuk memperbaiki Jo. Sialnya, tidak akan ada hasil akhir bahagia karena Time Loop itu terjadi di waktu kini. Setiap kali membaca status dari perempuan yang punya standar ABCD lalu dapat hinaan dari warganet, saya heran. Bukankah ini standar dia? Kenapa harus menyamakan dengan standarmu?
Pencapaian Perempuan Dianggap Selingan
Tahun 2025 ini, saya masih menemukan perdebatan tentang mau memilih perempuan cerdas atau memilih perempuan penurut. Kenyataannya, saya melihat sosok Mama yang cerdas dan punya opini sendiri bisa berdampingan dengan Papa yang juga punya pendapat sendiri. Saya melihat mereka berdebat dan berdiskusi sehat, tapi tidak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
Mama tetap selalu minta izin ke Papa kalau mau bepergian atau melakukan sesuatu dan Papa tetap menjadi penyokong nafkah utama. Bahkan, Papa jugalah yang mendorong saya kuliah dan traveling ke negara tetangga. (Baca Juga: Lambat Itu Tidak Apa-Apa)
Makanya saya miris melihat perempuan yang punya pencapaian tinggi lalu dikerdilkan hanya karena masih lajang atau sedihnya lagi ketika seorang ibu yang merasa tidak berguna karena hidupnya hanya untuk keluarga dan kecerdasannya diredupkan demi ego orang lain.
Namun, Filmnya Tetap Punya Makna Soal Penerimaan
Meskipun saya tidak bisa menemukan sebuah titik mengharukan dari sosok Sore, saya melihat pembelajaran tentang cara untuk menerima kehilangan besar dalam hidup. Mulai dari fase denial hingga acceptance bisa dilalui Sore yang kehilangan Jo dan seorang Jo yang punya father's issue.
Yang perlu diingat adalah kita tidak akan seberuntung Sore yang bisa mencoba mengubah seseorang. Tidak ada jaminan kita akan bahagia selama hidup meskipun sudah berhati-hati, tetapi setidaknya kita tetap tidak kehilangan diri sendiri di saat ada momen yang memaksa kita untuk ikhlas melepas.
Tidak perlulah buang-buang energi untuk menjadi seorang pahlawan bagi seseorang yang tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri apalagi kalau sejak awal visi misi kalian sangat jauh berbeda. Manusia memang bisa berubah, tapi kapan? Mau buang-buang waktu hanya karena mematuhi 'apa kata orang'? (Baca Juga: Menambah Semangat Menulis Saat Mendadak Lemah)
Tidak ada komentar
Posting Komentar