Jalan-Jalan Seru Menyusuri Dua Pabrik Gula di Sidoarjo


jalan-jalan ke pabrik gula watu tulis



Pada 15 Oktober lalu, saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan seru menyusuri dua pabrik gula di Sidoarjo. Komunitas Sidoalce berkolaborasi dengan Rumah Budaya Malik Ibrahim dalam event yang bertajuk Tilik Mburi 2. Tentu saja saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengulik sejarah Pabrik Gula Watoe Toelis (Watu Tulis) dan Candi Baru. 


Walking tour atau jalan-jalan di dalam kota untuk mencari tahu sejarah di balik bangunan dan lokasi tertentu kini menjadi salah satu aktivitas hiburan yang saya lakukan. Biasanya, saya jalan-jalan di Surabaya. Ini kali kedua saya mengikuti program wisata sejarah dari Rumah Budaya Malik Ibrahim. Tentu saja, pengalaman di acara Tilik Mburi ini sangat menyenangkan.


Pabrik Gula Watoetoelis yang Tersisa Kenangan


Dengan hanya membayar 75 ribu, peserta yang dibatasi maksimal 40 orang berkumpul dari Rumah Budaya dan diantar berkeliling menggunakan mini bus. Selain itu, kami mendapat air mineral dan jatah makan siang setelah mengunjungi Pabrik Gula Candi Baru. Menurut saya, dengan harga segitu, saya bisa mendapatkan banyak sekali benefit. Saya juga tidak perlu memikirkan tip untuk storyteller. Semua biaya sudah mencakup konsumsi dan mini bus yang kami naiki.


Rute pertama adalah Pabrik Gula Watoetoelis. Pabrik tersebut sudah tidak beroperasi lagi karena mesin-mesin di dalamnya sangat tua. Namun, pabrik tersebut masih bisa dikunjungi untuk mendapatkan atmosfer sejarah perjalanan bisnis pabrik gula sejak zaman penjajahan. 





Ketika sampai di halaman utama, saya dan rombongan terkesima dengan halaman luas dan gedung utamanya yang memiliki tulisan tahun 1838. Pabrik gula yang berdiri pada abad 19 tersebut terlihat megah. Tidak ada tiket masuk karena tempat ini belum benar-benar dibersihkan di bagian dalamnya. 




Mesin Tua Saksi Banyak Kenangan

Kami masuk ke ruangan yang dulunya menjadi tempat penggilingan utama. Debu dan juga panas menyambut kami, jadi harus berhati-hati juga jalannya. Terlihat mesin semacam panci-panci raksasa untuk mengolah cairan tebu dan memisahkan sisa ampasnya. Mata saya tertarik pada mesin penarik lori tua bertuliskan Christoph Scottier. Kata storyteller, penarik lori tersebut dibuat dari Jerman pada 1973.



Tungku pemasak cairan gula yang saya bilang seperti panci raksasa tadi bertuliskan tahun 1880. Tua sekali, ya. Bayangkan jaraknya dari tahun 1880 ke 1973, itu saja sudah hampir satu abad. Lalu kalau ditambahkan ke tahun 90-an di saat saya baru lahir, rasanya lebih tua lagi. Pabrik ini baru berhenti beroperasi sekitar tahun 2018.



Penarik lori

Bekas pengolahan tebu



Mampir di Jajaran Bekas Rumah Dinas

Melawan terik matahari dan juga debu, kami melanjutkan perjalanan ke bagian paling dalam area pabrik. Berjajar bangunan-bangunan cantik yang dulunya menjadi rumah dinas pegawai. Desain arsitektur dan interiornya nampak jelas merupakan gabungan gaya Eropa dan Jawa. Ada juga yang bergaya tropis dengan warna krem dan kuning.






Saya bisa membayangkan bagaimana riuhnya suasana ketika pabrik ini masih berjalan. Pegawai yang tinggal di rumah dinas mengenakan seragam kerja dan petinggi yang berasal dari Belanda mengawasi jalannya pekerjaan. Ada wacana jika kawasan ini akan dijadikan museum. Semoga saja ini bisa terealisasi agar sisa bangunannya bisa direnovasi dan dikunjungi siapa saja.


Berteduh di Lodji 1839

Sebelum berpindah ke destinasi pabrik gula kedua, saya dan rombongan Tilik Mburi menyeberang jalan menuju kafe Lodji 1839. Lokasinya tepat di seberang pabrik gula Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Kafe ini dulunya diperkirakan pernah digunakan oleh pejabat tinggi Pabrik Gula Watu Toelis. 



Depan halaman Lodji 1839

Rehat dulu sambil minum limun


Bangunannya terawat baik dan kalau melihat akun Instagramnya, di sini sering digunakan untuk sesi foto terutama prewedding. Bagi kamu yang suka bangunan cantik bersejarah, kamu bisa mampir ke sini sambil memesan makanannya. Karena waktunya tidak terlalu panjang, saya salat Zuhur sambil menikmati minuman limun lezat khas Lodji 1839.  (Baca Juga: Melintasi Dua Masa di Georgetown, Penang)

Bagian dalamnya sangat klasik


Ketemu TV jadul di Lodji

Pabrik Gula Candi Baru yang Masih Beroperasi

Kami akhirnya mengunjungi Pabrik Gula Candi Baru. Pada hari tersebut, pabrik masih beroperasi sehingga kami hanya melihat dari luar saja. Karena masih berjalan, tentu saja mesin-mesinnya sudah diperbaharui dengan teknologi terkini. Pabrik gula biasanya berjalan selama enam bulan untuk menggiling gula nonstop lalu libur enam bulan untuk maintenance.






Sambil mendengarkan cerita mengenaik PG Candi Baru, rombongan berfoto di depan salah satu bagian bangunan paling tua yang masih dipertahankan. Tertera tulisan 1832 di atas bangunan yang menunjukkan jika pabrik tersebut merupakan pabrik gula tertua di Sidoarjo.


Usut punya usut, PG Candi Baru ini didirikan oleh pengusaha Tionghoa, bukannya Belanda. seperti PG Watu Tulis. Nama pendirinya The Goang Jin dan nama pabrik dulu disebut NV Suiker Fabriek Tjandi.



Bangunan untuk ruang kerja direktur PG Candi Baru


Selesai singgah di PG Candi Baru, saya dan teman-teman serombongan menyeberang jalan menuju tempat kantor direksi yang masih menggunakan bangunan sejak zaman kolonial. Kalau di seberang PG Watoetoelis diubah menjadi kafe, bangunan khusus di depan PG Candi Baru masih difungsikan sebagai tempat direktur bekerja dan ruang meeting. Kami makan siang di sana.




Menyenangkan sekali jalan-jalan menyusuri dua pabrik gula di Sidoarjo yang salah satunya dekat area rumah saya. Walking tour berikutnya pasti lebih asyik lagi, nih. Kamu bisa ikuti akun Instagram Rumah Budaya Malik Ibrahim Sidoarjo @rumahbudaya.sda untuk informasi tur budaya dan sejarah minggu ini di Malang. Kita akan mengunjungi Kajoetangan, Candi Singosari, dan lainnya. Segera meluncur, ya!

(Baca Juga: Perjalanan ke Daerah Ngapak)



4 komentar

fanny_dcatqueen mengatakan...

Ternyata yg watoetoelis Blm lama berhenti yaa baru 2018. Aku pikir udh lamaaa banget mba. Duuuh sayang juga ga berproduksi lagi. Ngeliat jejeran rumah dinasnya, aku berasa pengen balik ke zaman dulu, ngeliat kehidupan para pekerjanya ☺️. Pasti menarik.

Dan semoga beneran bisa JD kawasan museum mba.

Kafe Lodji nya juga menarik. Aku pernah icipin coffee beer tapi beda brand pas di solo. Enak juga.. semriwing, kirain beneran beer 🤣. Untung aja bukan.

Jadi Skr yg beroperasi pabrik gula candi baru yaaa. Dipikir2 indonesia dulu punya banyak pabrik gula.. sampe ada yg dijadikan rest area 👍. Yg candi baru lama juga maintenance-nya sampe 6 bulan gitu 😅. Berarti gula yg digiling harus bisa mencukupi kebutuhan setahun sampe selesai maintenance yaa

Ainun mengatakan...

aku belum keturutan buat ikutan walking tour, ngincernya yang di Malang, meskipun aku pernah tinggal di malang sekian tahun, tapi kayaknya kalau ikutan tur lebih seru.
Bangunan cafe Lodjinya bagus mbak, estetik kayak rumah nenek zaman dulu

kalau tur ke tempat seperti ini, pemikiran kita langsung dibawa flashback ngebayangin zaman dulu

Adi Pradana mengatakan...

Asik banget jalan2nya, bisa menyusuri 2 pabrik gula di sidoarjo. seiring berjalannya waktu, kini pabrik gula tinggal sedikit krn bahan baku "tebu" juga sudah kehilangan lahan. #CMIIW

Reffi Dhinar mengatakan...

@Fanny: Seru memang, Sidoarjo itu dulu banyak banget pabrik gulanya sampai hanya tersisa dua yang beroperasi sekarang. Andai bisa dirawat semua jadi museum kaya Colomandu pasti seruu.

@Adi Pradana: benar sekali, aku kurang mengikuti kalau di Sidoarjo. Mungkin karena memang masih ada pabrik gula yang jalan, jadi masih ada wilayah kecamatan yang banyak sekali lahan tebunya.

@Ainun: Iya, akhirnya aku juga bisa walking tour di Malang, bareng komunitas dari Sidoarjo. Asyik bangeet.