1/4

*Cantika Putri  Cakrabumi*

Berbicara tentang dirimu. Sosok jangkung yang kutengarai membawa sepotong gelisah. Yah, gelisah dalam kumpulan tanda tanya mengintip mimpiku. Sialan benar! Kau seorang penyusup ulung. Berani benar kamu menyelinap dalam mimpi seorang Cantika, gadis ningrat penerus tahta keluarga Cakrabumi. Kau tahu, hei seorang dari kaum jelata? Tak ada yang bisa kulihat darimu. Sederhana dengan kaus oblong dan jins belel, mungkin sosokmu sedikit tertolong dengan tinggi yang meneduhkanku dari sinar surya dan dari raut wajah tegas tanpa senyummu. Kau sangat angkuh. Isi pembicaraanmu sering berkutat tentang kunonya budaya feodalis, yang secara tak langsung menyindir kuasa keluargaku di tanah kecil ini.

"Ndoro putri," panggilmu suatu sore ketika aku sedang membaca buku di teras rumah.

Aku mendongak dan kulihat seorang pemuda jangkung berwajah dingin berdiri di depan pelataran rumah.

"Ada apa, Nakula?" sahutku singkat, aku sangat sebal jika ada orang yang menginterupsi waktu membacaku.

"Saya lihat, ndoro putri suka membaca buku. Saya punya koleksi buku yang sangat banyak di rumah dan sekarang sudah tidak muat, barangkali anda mau pinjam," 

Aku terpana mendengar ucapannya yang aneh dan terkesan berani itu. Apa orang ini sinting? Atau dia sedang mencoba mendekatiku dengan cara yang entah apa itu? Kutunggu beberapa menit sebelum menjawab. Kuperhatikan matanya. Tenang dan serius. Tak ada senyum di bibir merahnya. Damn, justru kediamannya mulai  merampok keanggunan dalam tenang yang kuciptakan. Sudah setengah mimpiku sering ia masuki tanpa izin. Jika aku tenggelam dalam nyalang mata itu, pasti dari setengah mimpi itu akan terbagi lagi untuk mengingat rona mukanya. Hanya tersisa seperempat, bagian kosong terbebas dari penjajahannya.

*Nakula Bimasakti* 

Ia tak cantik. Tubuhnya memang indah, namun wajahnya sangat menonjolkan kekhasan seorang Cakrabumi- sombong namun anggun. Kecerdasannya telah menjadi kebanggan di seantero desa. Siapa yang tak tahu dengan Cantika, putri mahkota tanah kelahiranku yang selalu menjadi juara umum di sekolah hingga menjadi mahasiswa teladan di kota. 

Sore itu aku melihatnya duduk sendiri dengan buku setebal ensiklopedia. Seperempat detik aku menangkap matanya sedang menelanjangiku diam-diam. Seperempat detik, jantungku berhenti berdetak. Brengsek. Seorang Nakula, sarjana pertanian yang sedang giat membangun desa, bisa terperangkap dalam jerat mata kecil itu.

Bilamana ini rasa. Apakah rasa ini adalah rasa yang sama seperti dengan cinta pertamaku dulu? Namun masalahnya, detak aneh itu hanya terjadi kira-kira seperempat detik. Seperempat detik yang membongkar tumpukan rasa penasaranku pada sosok ndoro putri itu. Tak ada ragu. Aku tak ingin tertipu, Oleh karena itu, aku memaksa bibirku untuk mengeluarkan sebuah bunyi. Bunyi kata yang sialnya, pasti terdengar aneh di telinganya. 

Tidak ada komentar