Aku mengaduh. Hatiku berdenyut
gugup. Tak ada dia. Aku limbung dalam peraduanku yang gelap karena cahaya lampu
kamar tak kunyalakan sama sekali. Air mataku mengalir deras bak air bah. Sejam
yang lalu sosokku berubah mengerikan seperti monster. Mataku menyala marah dan
aku menyemburkan nafas kemarahan yang menjilat habis tubuh dan terutama
hatinya.
“Aku membencimu. Aku ingin lepas
darimu. Kamu tak pernah mengerti apa mauku. Aku sangat ingin pergi darimu!!”
teriakku dengan penuh amarah pada Sota, kekasih sekaligus calon suamiku.
Hari ini Sota terlambat datang ke
acara ulang tahunku yang kedua puluh lima. Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya
di kantor. Selama ini Sota selalu rela menyisihkan waktu di sela-sela
kesibukannya demi menemaniku. Aku dan Sota sudah menjalin kasih selama hampir
empat tahun dan kamipun telah bertunangan. Dua bulan lagi kami akan
melangsungkan pernikahan di Hokkaido, tempat dingin kampung halaman Sota dan
aku.
Entah setan apa yang menguasaiku
hari ini. Sudah hampir sebulan ini aku begitu gelisah dan tak tenang. Semua ini
bukannya tanpa sebab. Sudah beberapa kali Sota membicarakan Hasegawa Riku,
rekan kerja barunya yang dimutasi dari kantor cabang di Tokyo. Sota bekerja
dalam satu divisi yang sama dengan Riku. Kata Sota, Riku adalah gadis manis
yang berperangai lembut dan sangat cerdas. Awalnya aku tak begitu peduli dengan
cerita Sota mengenai Riku, namun lama-kelamaan perasaan cemburu itu mulai
menguasai hati kecilku.
“Riku-chan wa totemo kawaiine, dia sangat manis. Banyak sekali
kawan-kawan pria di kantorku yang berebut perhatiannya. Lucu sekali kalau
melihat kelakuan aneh mereka,” ujar Sota suatu hari di tengah acara makan malam
rutin kami.
“Kenapa Sota memanggil nama
belakangnya saja? Apa hubungan kalian sudah begitu akrab sampai bisa saling
memanggil nama belakang saja?” tanyaku curiga.
Sota memandangku lembut. Ia
mengacak rambut ikalku dengan gemas,”Hei, hei yakimochi shinaide Yuri-chan. Aku dan Riku hanya berteman akrab.
Bekerjasama dengan Riku itu sangat menyenangkan, tenang saja aku tidak akan
tergoda seperti kawan-kawanku lainnya, sorenara
ki ni shinaide,”
Aku tersenyum simpul dan hatiku
agak sedikit terhibur mendengar perkataan Sota dan tatapannya yang sangat
meyakinkan. Tapi geliat kecemburuan itu semakin meraja, apalagi ketika Sota
mulai sering sekali lembur karena deadline perusahaan. Bayangan ia bekerjasama
hanya berdua dengan Riku membuat dadaku serasa sesak. Aku mulai sering
menunjukkan perilaku di luar kewajaran. Aku ingin selalu bertemu Sota dan mendengar
suaranya. Padahal sebelumnya aku adalah wanita yang cenderung tidak memiliki sifat posesif.
Tanpa sadar aku sering membandingkan
diriku dengan Riku. Aku hanyalah gadis sederhana yang bekerja di balik meja
sebagai mangaka. Sudah banyak manga
atau komik laris yang kuhasilkan dan kebanyakan beraliran shoujo manga. Walaupun sudah banyak karya laris yang kuhasilkan,
aku masih terlalu pemalu untuk bertemu dengan penggemar. Oleh karena itu aku
menggunakan nama pena Yurisa dan sebisa mungkin menghindari acara bertemu fans
terlalu sering.
Aku dan Sota tinggal di sebuah flat
sederhana di kawasan Osaka. Letak flat kami hanya berjarak sekitar 45 menit
perjalanan dari Kansai Kuukou, bandara internasonal Osaka. Aku sangat beruntung
bisa memiliki Sota sebagai calon suami. Berbeda denganku yang sangat sederhana,
bagiku Sota adalah sosok sehangat matahari yang membawaku ke dunia yang lebih
terang. Tetapi sejak kemunculan Riku, entah kenapa perasaan-perasaan minder,
cemburu dan marah mulai menguasai duniaku yang selama ini tenang tak mudah
terusik apapun.
Puncaknya adalah peristiwa hari
ini. Hari ini adalah pesta ulang tahunku yang rencananya akan kurayakan dengan
Sota secara sederhana. Aku telah bersiap sejak pagi. Kutunda sementara semua pekerjaan
menggambar mangaku dan pergi berbelanja bahan makanan untuk membuat masakan
favorit Sota, mi shoyu ramen dan okonomiyaki. Cuaca musim gugur yang mulai
sejuk dan membawa sedikit hawa dingin menurutku akan sangat cocok dihangatkan
dengan makan makanan yang serba hangat entah itu sup atau panggangan.
“Hari ini aku akan pulang pukul
tujuh malam, jadi tolong sabar menungguku ya,” janji Sota melalui telepon. Aku
mengiyakan dengan riang, tak sabar untuk merayakan hari istimewaku bersama Sota.
Aku sengaja mengendarai sepeda
menuju supermarket untuk membeli segala macam bahan makanan. Pohon-pohon sakura
yang telah kehilangan bunga dan daunnya, menambah syahdu suasana pagi hari yang
sejuk dengan ornamen langit biru bercorak sedikit keemasan karena sinar matahari.
Kilasan-kilasan kenangan berkelebatan di benakku mulai dari saat aku pertama
kali bertemu dengan Sota di kampus dan ternyata kami sama-sama berasal dari
Hokkaido. Aku mengambil jurusan desain grafis sedangkan Sota mengambil jurusan
teknik sipil. Tak terasa sebentar lagi kami akan menikah. Debar jantungku
berlari begitu cepat seolah kami baru saja bertemu.
Jam-jam berlalu dengan lambat.
Sudah pukul tujuh malam namun Sota belum juga datang. Beberapa menit setelah
jarum panjang bergerak ke angka satu, telepon genggamku berdering,”Moshi-moshi, Yuri, maaf aku terlambat
mengabari. Hari ini ada masalah teknis di kantor, jadi mungkin aku baru bisa
datang sejam lagi,” ujarnya dengan nada bersalah.
“Souka, wakatta. Nanti aku hangatkan lagi mi shoyu ramen dan okonomiyakinya
lagi sambil menunggu kamu datang, Sota,,” belum sempat aku menyelesaikan
ucapanku, terdengar suara lembut wanita yang memanggil Sota.
“Sebentar ya Riku-chan, aku akan
segera membantumu. Yuri sudah dulu ya, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku
agar kita bisa segera bertemu,”
Aku menjawab lemah. Perasaan kecewa
menggumpal di dadaku. Bukan karena keterlambatan Sota karena aku mengerti
dengan kesibukan pekerjaannya tetapi suara lembut Riku yang saat ini sedang
bersamanya di kantor. Aku merasa Sota semakin senang bersama Riku dibanding
bertemu denganku. Bayangan-bayangan mereka duduk berdampingan dengan siku
bersentuhan dan tatapan mesra amat menggangguku. Ah, perasaanku semakin kacau
dan gelisah. Aku takut Sota saat ini sedang berbohong agar kebersamaannya
dengan Sota bisa berjalan lebih lama.
Satu jam berikutnya Sota pulang
dengan wajah lelah namun masih ada sorot mata hangatnya. Aku menunggu di depan
meja makan dengan kaku dan kesal. Sota mengetahui perubahan emosiku. Ia meminta
maaf atas keterlambatannya. Aku memejamkan mata dan akhirnya ledakan amarah
keluar tanpa sempat kusadari. Aku bilang kalau aku membencinya, aku membenci
pekerjaannya, aku membenci Riku, dan aku lelah karena terlalu lama menunggu.
Sota hanya diam. Aku masuk ke dalam kamar dan membanting pintu. Kudengar pintu
depan dibuka dan berikutnya suasana hening seketika.
***
Aku tertidur tapa kusadari. Dering
jam beker yang memekakkan telinga membuatku terjaga. Masih pukul enam pagi.
Lubang di hatiku menganga lebar. Aku amat menyesali semua ucapan burukku
terhadap Sota. Kutelpon ia tapi tak ada nada sambung, ponselnya dimatikan. Aku
segera keluar kamar tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan Sota. Sekali lagi aku
menangis dalam diam. Baru kali ini aku berkata sekejam itu. Pandanganku buram
dan ulu hatiku terasa nyeri. Intuisiku mengatakan kali ini aku akan kehilangan
Sota untuk selamanya.
Aku beranjak bangun. Segera kusiram
tubuhku dengan air dingin untuk mendinginkan perasaanku, hasilnya nihil. Aku
berganti pakaian dengan cepat dan berjalan keluar flat. Aku terus bergerak
karena aku takut jika aku berhenti maka air mataku akan kembali tumpah. Aku
pergi ke stasiun dan membeli karcis menuju Kyoto. Hanya satu tempat yang saat
ini ingin kukunjungi di Kyoto, yaitu Kiyomizudera. Kurang lebih setengah jam
berikutnya aku telah sampai di Kyoto lalu aku melanjutkan perjalananku dengan
bus. Jantungku berdetak semakin cepat, campuran antara kesedihan dan rasa takut
kehilangan.
Pohon-pohon yang meranggas dan
daun-daun berubah warna di sepanjang perjalanan seolah turut menyemai kekalutan
dalam hatiku. Apakah kisahku akan sama dengan pohon-pohon itu? Berubah warna,
mungkin tampak indah dipandang mata tetapi perlahan gugur seperti daun dan
bunga yang putus asa. Sesampainya di Kiyomizudera aku melangah lambat sembari
mengisi rongga paru-paruku dengan nuansa dingin bercampur sejuk dari alam. Di
sinilah tempat dimana aku dan Sota biasa melakukan momijigari. Kami akan berlomba-lomba memotret daun-daun momiji yang
berubah warna dan bersaing menghasilkan potret yang paling indah.
Kiyomizudera menjadi tempat favorit
kami untuk menikmati kouyou hampir
tiap tahun. Aku tak tahu mengapa tiba-tiba saja ingin pergi ke tempat ini. Di
sinilah Sota melamarku setahun yang lalu. Waktu itu adalah bulan September paling
indah dalam sejarah hidupku.
“Kita sama-sama terlahir di bulan
September, kita sama-sama menyukai musim gugur, dan sekarang aku ingin sekali
menjadikanmu sosok abadi yang akan menemaniku menikmati semua hal-hal favorit
kita,” kata Sota seraya melingkarkan sebuah cincin manis di jari manisku.
Kenangan itu menghentikan
langkahku. Aku melihat sekeliling. Semua orang sedang terpesona dengan
pemandangan indah. Daun-daun yang gugur menutupi jalan dan membuatnya menjadi
hamparan permadani daun yang indah dan eksotis. Seharusnya aku berbahagia
sekarang. Seharusnya saat ini aku sedang menggenggam erat tangan Sota. Aku
merasa hina. Aku membiarkan kecurigaanku tumbuh tanpa kukontrol sendiri hingga
melukai orang yang paling kucintai.
Sampai petang hari aku membaur
bersama pengunjung lainnya di area Kiyomizudera. Aku menunggu pertunjukan light-up yang sering diadakan di musim
gugur. Cahaya warna-warni menghiasi pemandangan gelap dan menimpa kuil. Tubuhku
lemas karena sejak pagi aku tak berselera untuk mengunyah makanan. Ponselku
bergetar, kulihat ada panggilan masuk dari Sota.
“Halo, halo. Sota. Kumohon maafkan
aku. Aku sama sekali tak bermaksud berkata sekeji itu. Kumohon jangan pergi,
jangan katakan kau akan pergi,” aku langsung memberondong Sota setelah kujawab
panggilan teleponnya.
Sota tak langsung menjawab. Aku
ketakutan menunggu jawaban darinya,”Sekarang kamu ada di mana?” tanyanya
singkat.
“Aku di Kiyomizudera. Aku sedang
menelusuri kembali jejak kenangan kita. Kumohon jangan pergi, maafkan
kesalahanku kemarin walaupun mungkin telah sangat melukaimu,” pintaku memelas.
“Kembalilah, ini sudah terlampau
malam,” Sota menutup pembicaraan dan menyelesaikan panggilan teleponnya.
Aku berlari seperti kesetanan. Aku
tak boleh salah lagi. aku harus merengkuh cintaku kembali. Aku tak tahu apakah
Sota akan menerima permintaan maafku atau tidak, tetapi yang paling penting aku
bisa melihat wajahnya dan memeluknya. Debar di jantungku ini tidak berbohong.
Aku sangat mencintainya. Aku sangat merindukannya sampai aku mampu berbuat gila
dan telah menyakitinya. Sota, akan kutempuh jalan kembali. Akan kutemukan makna
musim gugur kita lagi. Bukan lagi rasa patah hati.
GLOSARIUM
1. Riku-chan wa totemo kawaiine : Riku
itu sangat manis lho
2. Yakimochi shinaide : jangan cemburu
3. Sorenara ki ni shinaide : jadi
janganlah khawatir
4. Moshi-moshi : halo (saat melakukan
panggilan telepon)
5. Souka, wakatta : oh begitu, aku
mengerti
6. Momijigari : disebut juga aktivitas
memburu daun merah. Atau menikmati perubahan warna daun momiji (maple) saat musim
gugur
7. Kouyou : perubahan warna daun
8. Mangaka : komikus
9.
Shoujo
manga : komik untuk remaja cewek
2 komentar
Nyimak aja ya gan :)
Sukses terus buat Anda :D
Waah mbak, keren skli ceritanya..
Pandai bhsa jepang pulaa (y)..
Memang kl sdh dekat, hnya manggil nama blkangnya sj ya? Knp mb?
Posting Komentar