Aku menyukai kisah-kisah penuh
dengan keajaiban, sihir dan bernuansa petualangan. Bahkan karena terlalu
menghayati cerita-cerita yang kubaca, seringkali aku bermimpi menjadi gadis
yang sedang berpetualang di negeri ajaib. Kenyataannya, sikap dan karakterku
sungguh berbeda dengan tokoh khayalanku. Aku hanya gadis sederhana, minder dan
hanya senang berkutat dengan buku. Aku memang memiliki beberapa prestasi di
bidang menulis dan bahasa, tapi tetap saja itu tidak mmebuatku percaya diri
menghadapi dunia nyata.
Kejadian siang kemarin masih
membuatku takjub. Tanpa diduga, Wira pemuda yang kukagumi diam-diam telah
mengajakku berbicara. Sama seperti kehadirannya yang tiba-tiba, selesai bicara
iapun pergi tanpa maksud yang jelas. Siang ini aku kembali ke perpustakaan
sekolah dan membaca buku favoritku dengan tenang, sebelum beberapa menit
kemudian kesunyianku terusik.
“Heh, kamu punya hubungan apa sama
Wira?” Joyce, teman sekelasku yang bertubuh tinggi bak model dan wajahnya
cantik menghampiriku dengan wajah tak ramah.
“Hubungan? Aku sama Wira itu baru
ngobrol sekali, jelas dong kalau kami nggak punya hubungan apa-apa,” jawabku
merasa jengah.
“Sombong banget kamu. Kamu pasti
pakai cara-cara curang buat ngedapetin perhatiannya si Wira. Pantesan kamu hobi
ke perpus, ternyata kamu juga ngincer dia ya,” nada bicara Joyce semakin
terdengar menyebalkan.
Aku menoleh ke sekeliling dan
merasa malu dengan omongan Joyce. Sok tahu sekali dia. Aku memang kagum dengan
Wira, tapi sudah sejak kelas X aku mampir ke perpustakaan tiap istirahat siang,
tanpa ada niatan menggoda Wira. Aku tak merespon kata-kata pedas Joyce barusan.
Aku memilih membaca lagi. Siapapun tahu jika Joyce adalah salah satu top fans
yang berusaha mengejar cinta Wira. Joyce adalah salah satu primadona sekolah.
Sudah tak terhitung berapa kali ia berganti pacar, mulai dari siswa biasa
hingga kelas mahasiswa dan semua kesamaannya adalah mantan-mantan pacar Joyce
pasti keren, tampan atau berduit.
“Terus kenapa si Wira bisa ngobrol
sama kamu? Dia kan terkenal pelit senyum apalagi ngobrol sama cewek,” Joyce
masih mengejarku dengan pertanyaan tidak pentingnya. Suara cemprengnya membuat
beberapa pengunjung perpustakaan memerhatikanku dan Joyce, dan membuatku mulai
merasa gerah.
“Perlu ya aku minta izin ke kamu
tiap kali aku mau ngomong sama siapapun, Joyce?” suara bass khas yang kukenal
memotong rentetan pertanyaan Joyce dengan telak.
Kontan saja Joyce menoleh ke arah
belakang tubuhnya. Wira berdiri dengan sorot mata lebih mengerikan dibanding
biasanya.
“Wajah cantik tapi cara bicara
udik. Kamu tidak malu melabrak orang lain di tempat umum seperti ini?” lanjut
Wira tanpa ampun.
Aku bergidik melihat kemarahan Wira
pada Joyce. Sebelum kami menjadi tontonan gratis lebih lama, aku bergegas pergi
meninggalkan perpustakaan. Joyce masih berdiri dengan kaku berhadapan dengan
Wira, sementara Wira sendiri juga tidak menggubris kepergianku. Sungguh gila. Hanya
karena Wira mengajakku bicara sebentar, efeknya aku akan jadi bahan gosip
hampir seantero sekolah. Wira dan Joyce adalah sosok selebritis di sekolahku. Menyesal
sekali rasanya, mengapa aku menanggapi obrolan Wira kemarin.
Aku melirik jam tangan, masih tersisa
sepuluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Aku duduk di gazebo kecil di
taman samping sekolah yang sedang sepi. Aah, aku lebih suka dengan kesendirian
seperti ini.
“Kenapa kamu melarikan diri?” Sebuah
suara bass yang kukenal mengejutkanku. Ya Tuhan, apa Wira ini dari tadi
membuntutiku? Aku menjadi semakin stres dan bingung dengan kelakuan anehnya.
“Sepertinya kita tidak usah saling
bicara lagi. Baru sekali kita ngobrol, hidupku sudah dikacaukan dengan omelan
penggemar fanatikmu. Terus terang saja, mungkin kamu salah kalau mengajakku
sebagai teman ngobrol, aku lebih suka sendirian dan tidak suka dijadikan bahan
gosip,” kataku menahan dongkol.
“Maaf kalau aku sudah bikin kamu
jadi nggak nyaman. Masalahnya aku juga nggak bisa menahan diri buat diem aja
biarin kamu sendirian,”
“Udah deh Wir. Jangan bicara
tentang hal-hal yang nggak aku mengerti,”
“Aku mengagumimu Rani. Semenjak kelas
X dulu. Aku sering melihatmu menyiram bunga anggrek ungumu dengan antusias tiap
pagi. Kamu lebih suka makan bekal di kelas dan menyendiri di perpustakaan
sekolah. Kamu suka sekali berjalan di bawah hujan gerimis, tidak seperti cewek
lain yang sudah ribet dengan penampilan mereka karena takut basah. Itulah kenapa
aku rajin pergi ke perpus agar aku bisa melihatmu diam-diam,”
“Kamu pasti sedang mengigau,”
potongku tak percaya.
“Kamu percaya dengan keajaiban?” tanya
Wira.
“Iya, tapi semua kata-katamu belum
bisa sepenuhnya kupercaya. Dan apa hubungannya dengan keajaiban?”
“Jika jantung bisa berdetak dan
berhenti tiba-tiba hanya karena sebuah pandangan, apa itu juga bisa disebut
sebagai keajaiban? Mungkin ini kedengarannya gila. Tapi sama dengan keajaiban
yang tidak membutuhkan penjelasan logis serta alasan, debaran juga termasuk hal
yang amat susah didefinisikan seperti keajaiban bukan?”
Teng, teng, teng. Bunyi bel sekolah
memekakkan telinga. Kali ini Wira tidak langsung pergi seperti kemarin. Apakah ini
yang namanya kebetulan atau keberuntungan? Aku sendiri tidak tahu. Semakin kucoba
untuk mengerti, hasilnya makin banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku.
Sosok dingin yang kukagumi telah mengungkapkan kekagumannya padaku.
“Jangan berpikir kalau ini sebuah
kebetulan saja,”
Hah, apa dia ini cenayang sehingga
bisa membaca apa yang kupikirkan?
“Ya sudah, aku mau masuk ke kelas
dulu. Sebaiknya kamu tidak usah dekat-dekat denganku,” aku berdiri seraya
menepiskan kelopan bunga bogenvil merah muda yang tertiup angin dan jatuh di
atas pangkuanku.
“Hmm, nanti juga kamu akan mengerti
sendiri, Ran.” Wira menyentuh rambut sebahuku dan memberikan sengatan listrik
yang membuatku tertegun. Gilaa, hei kamu ini sebenarnya ingin apa sih Wira? Hati
kecilku berkata, sepertinya hari-hariku takkan pernah lagi sama. Aku menghela
nafas panjang sambil berdoa semoga perasaanku barusan hanyalah kekhawatiran
sementara saja.
Tidak ada komentar
Posting Komentar