Rahasia (Episode 2)

Aku menyukai kisah-kisah penuh dengan keajaiban, sihir dan bernuansa petualangan. Bahkan karena terlalu menghayati cerita-cerita yang kubaca, seringkali aku bermimpi menjadi gadis yang sedang berpetualang di negeri ajaib. Kenyataannya, sikap dan karakterku sungguh berbeda dengan tokoh khayalanku. Aku hanya gadis sederhana, minder dan hanya senang berkutat dengan buku. Aku memang memiliki beberapa prestasi di bidang menulis dan bahasa, tapi tetap saja itu tidak mmebuatku percaya diri menghadapi dunia nyata.
Kejadian siang kemarin masih membuatku takjub. Tanpa diduga, Wira pemuda yang kukagumi diam-diam telah mengajakku berbicara. Sama seperti kehadirannya yang tiba-tiba, selesai bicara iapun pergi tanpa maksud yang jelas. Siang ini aku kembali ke perpustakaan sekolah dan membaca buku favoritku dengan tenang, sebelum beberapa menit kemudian kesunyianku terusik.
“Heh, kamu punya hubungan apa sama Wira?” Joyce, teman sekelasku yang bertubuh tinggi bak model dan wajahnya cantik menghampiriku dengan wajah tak ramah.
“Hubungan? Aku sama Wira itu baru ngobrol sekali, jelas dong kalau kami nggak punya hubungan apa-apa,” jawabku merasa jengah.
“Sombong banget kamu. Kamu pasti pakai cara-cara curang buat ngedapetin perhatiannya si Wira. Pantesan kamu hobi ke perpus, ternyata kamu juga ngincer dia ya,” nada bicara Joyce semakin terdengar menyebalkan.
Aku menoleh ke sekeliling dan merasa malu dengan omongan Joyce. Sok tahu sekali dia. Aku memang kagum dengan Wira, tapi sudah sejak kelas X aku mampir ke perpustakaan tiap istirahat siang, tanpa ada niatan menggoda Wira. Aku tak merespon kata-kata pedas Joyce barusan. Aku memilih membaca lagi. Siapapun tahu jika Joyce adalah salah satu top fans yang berusaha mengejar cinta Wira. Joyce adalah salah satu primadona sekolah. Sudah tak terhitung berapa kali ia berganti pacar, mulai dari siswa biasa hingga kelas mahasiswa dan semua kesamaannya adalah mantan-mantan pacar Joyce pasti keren, tampan atau berduit.
“Terus kenapa si Wira bisa ngobrol sama kamu? Dia kan terkenal pelit senyum apalagi ngobrol sama cewek,” Joyce masih mengejarku dengan pertanyaan tidak pentingnya. Suara cemprengnya membuat beberapa pengunjung perpustakaan memerhatikanku dan Joyce, dan membuatku mulai merasa gerah.
“Perlu ya aku minta izin ke kamu tiap kali aku mau ngomong sama siapapun, Joyce?” suara bass khas yang kukenal memotong rentetan pertanyaan Joyce dengan telak.
Kontan saja Joyce menoleh ke arah belakang tubuhnya. Wira berdiri dengan sorot mata lebih mengerikan dibanding biasanya.
“Wajah cantik tapi cara bicara udik. Kamu tidak malu melabrak orang lain di tempat umum seperti ini?” lanjut Wira tanpa ampun.
Aku bergidik melihat kemarahan Wira pada Joyce. Sebelum kami menjadi tontonan gratis lebih lama, aku bergegas pergi meninggalkan perpustakaan. Joyce masih berdiri dengan kaku berhadapan dengan Wira, sementara Wira sendiri juga tidak menggubris kepergianku. Sungguh gila. Hanya karena Wira mengajakku bicara sebentar, efeknya aku akan jadi bahan gosip hampir seantero sekolah. Wira dan Joyce adalah sosok selebritis di sekolahku. Menyesal sekali rasanya, mengapa aku menanggapi obrolan Wira kemarin.
Aku melirik jam tangan, masih tersisa sepuluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Aku duduk di gazebo kecil di taman samping sekolah yang sedang sepi. Aah, aku lebih suka dengan kesendirian seperti ini.
“Kenapa kamu melarikan diri?” Sebuah suara bass yang kukenal mengejutkanku. Ya Tuhan, apa Wira ini dari tadi membuntutiku? Aku menjadi semakin stres dan bingung dengan kelakuan anehnya.
“Sepertinya kita tidak usah saling bicara lagi. Baru sekali kita ngobrol, hidupku sudah dikacaukan dengan omelan penggemar fanatikmu. Terus terang saja, mungkin kamu salah kalau mengajakku sebagai teman ngobrol, aku lebih suka sendirian dan tidak suka dijadikan bahan gosip,” kataku menahan dongkol.
“Maaf kalau aku sudah bikin kamu jadi nggak nyaman. Masalahnya aku juga nggak bisa menahan diri buat diem aja biarin kamu sendirian,”
“Udah deh Wir. Jangan bicara tentang hal-hal yang nggak aku mengerti,”
“Aku mengagumimu Rani. Semenjak kelas X dulu. Aku sering melihatmu menyiram bunga anggrek ungumu dengan antusias tiap pagi. Kamu lebih suka makan bekal di kelas dan menyendiri di perpustakaan sekolah. Kamu suka sekali berjalan di bawah hujan gerimis, tidak seperti cewek lain yang sudah ribet dengan penampilan mereka karena takut basah. Itulah kenapa aku rajin pergi ke perpus agar aku bisa melihatmu diam-diam,”
“Kamu pasti sedang mengigau,” potongku tak percaya.
“Kamu percaya dengan keajaiban?” tanya Wira.
“Iya, tapi semua kata-katamu belum bisa sepenuhnya kupercaya. Dan apa hubungannya dengan keajaiban?”
“Jika jantung bisa berdetak dan berhenti tiba-tiba hanya karena sebuah pandangan, apa itu juga bisa disebut sebagai keajaiban? Mungkin ini kedengarannya gila. Tapi sama dengan keajaiban yang tidak membutuhkan penjelasan logis serta alasan, debaran juga termasuk hal yang amat susah didefinisikan seperti keajaiban bukan?”
Teng, teng, teng. Bunyi bel sekolah memekakkan telinga. Kali ini Wira tidak langsung pergi seperti kemarin. Apakah ini yang namanya kebetulan atau keberuntungan? Aku sendiri tidak tahu. Semakin kucoba untuk mengerti, hasilnya makin banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku. Sosok dingin yang kukagumi telah mengungkapkan kekagumannya padaku.
“Jangan berpikir kalau ini sebuah kebetulan saja,”
Hah, apa dia ini cenayang sehingga bisa membaca apa yang kupikirkan?
“Ya sudah, aku mau masuk ke kelas dulu. Sebaiknya kamu tidak usah dekat-dekat denganku,” aku berdiri seraya menepiskan kelopan bunga bogenvil merah muda yang tertiup angin dan jatuh di atas pangkuanku.

“Hmm, nanti juga kamu akan mengerti sendiri, Ran.” Wira menyentuh rambut sebahuku dan memberikan sengatan listrik yang membuatku tertegun. Gilaa, hei kamu ini sebenarnya ingin apa sih Wira? Hati kecilku berkata, sepertinya hari-hariku takkan pernah lagi sama. Aku menghela nafas panjang sambil berdoa semoga perasaanku barusan hanyalah kekhawatiran sementara saja. 

Tidak ada komentar