Seperti biasa,
tiap senja mulai menggeliatkan sinar kemerah-merahannya aku mulai bergerak
untuk menjalankan rutinitasku, yaitu berjalan-jalan mengelilingi kawasan rumah
hingga jauh ke kota. Aku sekedar ingin melepas bosan karena aku bekerja di
rumah dan hanya tiap sore baru bisa bersantai dan melepas lelah. Tak begitu
banyak kawan yang kumiliki, karena aku sangat pendiam dan lebih senang
menggeluti buku-buku yang dimiliki majikanku. Yah aku seorang pembantu,
pembantu setia di sebuah rumah besar dengan majikan super cerewet namun sangat
baik padaku.
Tak seperti
biasa, sore ini aku berjalan lebih pelan dan ingin menikmati angin sejuk yang
mendampingi bangunnya senja, hingga tanpa sadar aku melalui sebuah rumah
sederhana dengan pagar yang tak begitu tinggi. Di teras rumah itu duduklah
seorang gadis yang pandangannya kosong menatap ke arah jalan. Aku berhenti
sejenak dan memperhatikan gadis aneh itu. Ya Tuhan, betapa cantiknya dia.
Rambutnya yang lebat dan indah dibiarkan terurai mencapai bahu. Sore ini ia
mengenakan gaun sederhana berwarna kuning gading yang tampak sangat cantik di
tubuhnya. Tetapi gadis itu sama sekali tak menyadari keberadaanku. Mungkin
keadaan fisiknya berada di sini walau menurutku pandangannya sedang menjelajah
ke alam lain, alam pikirannya yang entah sedang memikirkan apa.
Aku berjalan
lagi karena takut kalau dia sampai tahu aku sedang mengaguminya dari tempatku
berdiri. Lonceng di otakku berdering begitu kencang. Sepertinya aku memiliki
visi dan semangat baru. Dan mungkin kedengaran sepele. Tiba-tiba aku berharap
agar dapat berkenalan dengan gadis ayu itu dan bermimpi menjadi kawan dekatnya.
Aduh gawat, ini pasti ada yang salah dalam otakku. Kenapa pikiranku ngelantur
kemana-mana? Bukannya selama ini aku nyaman hidup sendiri dan tak terlalu
terganggu dengan kehadiran orang lain? Kenapa baru sekali bertemu sekarang
muncul harapan dan mimpi yang tidak jelas begini? Aku harus sadar dengan status
sosialku yang kurang cocok bersanding dengan gadis cantik itu.
Akhirnya aku sampai di taman kota favoritku.
Tempat aku merenungi diri dan menggali
berbagai inspirasi.
“Hei, sob
ngelamun aja nih.” Sebuah suara memotong paksa lamunanku.
“Hei, Jo. Tumben
kamu mau datang kemari.” Aku menyapa Jo, kawanku yang pernah bekerja serumah,
sekarang ia sudah pindah ke tempat lain.
“Ya sekali-kali
aku pengen kaya kamu, bertapa dan meditasi, bosen juga dateng ke tempat rame.”
ujarnya dengan gaya flamboyan yang khas.
“Bagaimana tempat
barumu? Cocok tinggal di sana?” tanyaku berbasa-basi, sebenarnya aku sedikit
merasa terganggu dengan kehadiran Jo.
Jo hanya
tersenyum kecil,”Yah lumayan sih. Majikanku sekarang nggak secerewet Bu Mirna.
Kadang aku heran kenapa kamu masih betah tinggal di tempatnya Bu Mirna, dia kan
orangnya ngeselin banget , Don.”
“Walau cerewet,
tapi beliau sebenarnya orang yang baik. Walau kita bukan keluarganya dan hidup
sebagai pembantu, kita selalu mendapat jatah makanan yang baik kan? Aku juga
malas untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, tidak sepertimu yang mudah
bergaul,” jawabku.
“Ya gitu deh.
Dari tadi aku lihat kamu seperti sedang senyum-senyum sendiri. Ada yang aneh
nih.” selidik Jo.
Aku hanya
menjawab dengan malas,”Nggak ada apa-apa kok.”
“Kamu lagi jatuh
cinta ya? Udah deh ngaku aja, aku ini pakarnya cinta lho, hahaha.” Jo tertawa
puas karena mengolok-olokku.
Aku tak membalas
dan hanya menoleh kesal,”Siapa perempuan yang beruntung itu?” tanya Jo.
Karena sudah
kenal lama dengan Jo, aku tak merasa keberatan untuk menceritakan detil
peristiwanya,”Aku ini aneh ya, masa baru pertama kali ketemu udah mimpi pengen
deket sama dia.” Aku berkata dengan minder.
Jo
manggut-manggut mendengar ceritaku,”Tak ada yang mustahil dalam cinta. Daripada
kamu stres ngelamunin dia sendirian, mending besok kamu datang ke rumahnya dan
ajak dia kenalan.”
Mataku melotot
tak setuju,”Gila apa? Aku tak punya jiwa pede sepertimu Jo.”
“Udah, buktikan
dong kalau kamu jantan. Ini kan kenalan aja, Don.” Saran Jo mengendap dalam
pikiranku. Benar juga tak ada salahnya aku mengikuti saran gilanya. Daripada
aku stres sendiri. Aku setuju dan mengajak Jo besok sore bertandang ke rumah
gadis impianku.
Senja keesokan
hari, aku dan Jo datang ke rumah itu. Gadis itu duduk di teras rumah dengan
gaun yang sama. Ah sudahlah aku harus memberanikan diri daripada nanti aku
dibilang pengecut oleh Jo. Pelan-pelan aku mendekati gerbang rumahnya yang tak
terkunci dan menyapa. Gadis itu menoleh
lalu menatapku dengan takut.
“Ihh, kucing ini
ngapain deket-deket sih. Hush, hush.” Dia melemparkan batu pada tubuh
berbuluku. Aku berlari dengan putus asa. Harapanku pupus sebelum aku
menyebutkan nama.
Tidak ada komentar
Posting Komentar