Berbeda itu indah. Itu kata-kata yang sering
kudengar dari banyak orang. Jadi, ketika dua orang berhubungan, entah itu dalam
sebuah nama persahabatan atau hubungan asmara, kalimat berbeda itu indah
menjadi semboyan yang dielu-elukan. Menurutku itu palsu. Jika berbeda itu
indah, lantas mengapa pernikahan beda agama di negeri ini jadi bahan
pergunjingan yang memusingkan? Lalu mengapa ada kata-kata perpisahan yang
menyebutkan,”Kita terlalu berbeda, jadi pasti akan saling menyakitkan jika
dipaksakan bersama,”
Itulah yang menyebabkan aku memilih teguh dengan
sedikit perbedaanku. Aku memilh menikmati momen pergantian tahun baru dengan
duduk sendiri di sini, di bangku dekat daerah taman bermain anak alun-alun
Sidoarjo. Kedua orang tuaku sedang sibuk dengan bisnis mereka, bahkan saat
pergantian tahun. Aku tak memiliki saudara atau sahabat dekat, jadi kupilih
menikmati malam penuh hiruk bunyi terompet sendirian.
“Boleh aku duduk di sini?” seorang pemuda berambut
jabrik dan berpakaian serba biru
membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum kecil mempersilahkan. Lalu kami duduk
dalam diam. Pemuda itu sibuk mengutak-atik smartphonenya.
Sesekali ia tersenyum sendirian, mungkin itu pesan dari kawan atau kekasihnya.
Aku sibuk melamun lagi. Kali ini aku berkontemplasi menghayati seluruh detik
kejadian yang kulalui di tahun 2013.
“Kamu nggak bawa terompet?” sela pemuda berambut
jabrik itu. Senyumnya mengembang, seolah-olah senyum itu sudah sejak lahir
menempel abadi di wajahnya.
Aku menggeleng. Sedikit kesal mendengar
interupsi-interupsi tidak pentingnya,”Aku nggak butuh terompet. Lagian di
alun-alun ini sudah banyak orang yang bawa terompet kan, jadi kurang satu aja
nggak akan ngurangin kemeriahannya,”
“Kamu ini aneh ya. Baru kali ini aku lihat ada cewek
manis duduk sendirian menikmati tahun baru sambil nggak bawa terompet,”
“Kamu sendiri juga aneh, kenapa kamu sibuk bertanya
tentang keadaan orang lain sementara kamu sendiri juga datang ke sini
sendirian,” pungkasku sebal. Mulutku mulai berkata ketus lagi, inilah yang
membuatku tidak bisa memiliki teman. Aku terlalu menikmati kesendirian.
Pemuda berambut jabrik itu sedikit terkejut,”Ah,
maafkan aku ya kalau kesannya lancang. Tapii, lucu juga ya, aku sibuk
ngomentarin kamu padahal aku juga datang sendirian, he he he,” ia malah
terkekeh geli.
Tak ayal aku jadi tertarik untuk mengamatinya lebih
jauh. Ternyata wajahnya lucu juga, matanya tajam dengan sorot yang ramah.
Senyum itu ternyata dihiasi lesung pipit di tiap sudut bibirnya. Pemuda yang
tampan, batinku.
“Perjalanan dari Semolowaru ke alun-alun Sidoarjo
ini lumayan menyusahkan, lho. Sepanjang jalan A. Yani, mobil dan motor penuh
memadati jalanan. Aku harus menempuh waktu satu jam lebih sampai kaki dan
tanganku pegal,” pemuda itu mulai berceloteh lagi.
Mana aku peduli dia tersiksa karena macet atau
tidak. Aku hanya menikmati momen berbeda dengan kehadirannya. Biasanya aku akan
menghabiskan waktu sendirian lalu pulang setelah pergantian tahun baru usai.
Kali ini aku ditemani pemuda ramah yang entah muncul dari mana. Berbeda. Dia
berbeda dengan dunia sepiku.
“Oya, namaku Evan. Sorry ya, aku nyerocos sendirian
tapi belum nyebutin nama, kalau boleh tahu, namamu siapa?” ujarnya sembari mengulurkan
tangan.
Aku menyambut uluran tangannya, rasanya tidak sopan
jika aku bertindak ketus pada Evan,”Namaku Cindy,”
“Cindy, hmm nama yang cantik,” ujarnya,”eh, tapi
jangan kira aku lagi ngerayu lho. Aku ini orangnya jujur bukannya tukang
gombal,” ia menggeleng kuat-kuat seolah sedang ada nyamuk menempel di wajahnya.
Aku tertawa kecil. Baru kali ini aku bertemu dengan
orang yang acuh dengan sikap dinginku. Biasanya orang lain akan langsung
menjauh begitu kubalas keramahan mereka dengan kata-kata ketus. Mendadak aku
merasakan hangat, jauh di dalam lubuk hati yang tak pernah kuperhatikan ini.
“Tenang saja, aku ini cewek yang nggak gampang
dirayu kok. Soalnya dari lahir aku sadar kalau aku memang cantik,” tukasku
membalas bercanda.
Aku melirik jam tangan, masih satu jam lagi menuju
malam pergantian tahun. Udara Sidoarjo yang biasanya panas dan lembab, hari ini
terasa semakin dingin. Kurapatkan jaketku dan kembali terbuai dalam lamunan.
Aku senang sekali melamun, karena dari lamunan-lamunan itulah beberapa bukuku
terlahir dan salah satunya laku keras di pasaran.
“Kenapa kamu memilih menikmati tahun baru sendirian?”
tanya Evan.
Aku memperbaiki posisi dudukku dan menjawab,”Karena
sendiri itu membuatku lebih bebas dalam memaknai pergantian tahun,” aku
berbohong padanya. Aku sendirian karena tak ada orang lain yang bisa kuajak
berbagi. Kedua orang tuaku menganggap bahwa kesibukan mereka lebih penting demi
masa depanku atau tetek bengek lainnya.
“Maaf ya. Aku menangkap ada nada sedih dalam gaya bicaramu. Aneh aja ngeliat ada
cewek muda yang harusnya happy-happy
sama temen, malah milih duduk sambil ngelamun sendirian. Kamu punya teman kan?”
Aku tersenyum. Sepertinya virus senyum itu menular
padaku. Aku mungkin berbeda di matanya. Aku berbeda karena aku pernah mencicipi
luka. Memiliki hubungan dekat dengan orang lain hanya memberi sebuah rasa luka
yang abadi. Katanya semua luka dapat diobati dengan hubungan baru, nyatanya
luka itu sudah memberi baret yang tak bisa hilang di dadaku.
“Kamu sendiri?” tanyaku balik.
“Aku malah bosan selalu merayakan tahun baru dengan
hura-hura bersama teman. Makanya aku jauh-jauh dari Surabaya kemari untuk
merasakan suasana yang beda aja,”
Dia berbohong. Aku tahu itu dari sekali
lihat. Keuntungan menjadi penulis adalah dapat menerka rasa tersembunyi
seseorang dari kontak mata dan juga saling bicara. Senyumnya sempat hilang
beberapa menit. Aku sempat menangkap mendung di mata cemerlangnya. Suasana
memang sedikit gelap, tapi nyala kembang api yang memantul di matanya
menunjukkan betapa ceranya mata itu sesungguhnya.
“Aku bosan hidup,” tiga kata itu mengejutkanku.
“Bosan hidup? Apa kamu sedang mengidap penyakit
mematikan?”
Ia tertawa geli mendengar dugaanku,”Tentu saja
tidak, aku hanya bosan hidup dengan penuh kepura-puraan,”
“Kurasa kamu adalah orang paling ekspresif yang
pernah kukenal. Bagaimana hidup bisa terasa membosankan bagimu?”
Evan mendnegus pendek. Makin menggelikan rasanya
melihatnya memanyunkan bibir seperti anak kecil. Astagaa, aku baru mengenalnya,
kenapa aku menjadi tertarik dengan pemuda berambut jabrik ini?
“Orang yang selalu tertawa pun bisa juga menyimpan
kesedihan di hatinya kan?”
“Jadi, sekarang kamu sedang bersedih?” selaku
penasaran.
“Nggak juga,” jawabnya singkat.
Nah, mengapa sekarang keadaan berbalik? Aku yang
terus memberondongnya dengan pertanyaan, sedangkan Evan hanya menjawab
pendek-pendek. Damn! Berikutnya aku
memilih diam. Sampai beberapa menit, akhirnya aku terpaksa menoleh ke sisi
kananku. Evan juga sedang menatap kosong ke arah kerumunan orang-orang yang
berkumpul di depan tugu kota Sidoarjo. Anehnya, kebisingan di seberang kami
seolah berada di sebuah negeri asing. Seakan aku dan Evan berada di dunia
sendiri. Hanya sebatas bangku tempat kami duduk sambil melamun.
Srak,
suara sepatu menggeser tanah. Evan berdiri lalu pergi begitu saja, tanpa pamit.
Aku menatap punggungnya yang akhirnya menghilang di tengah keramaian. Aku
ditinggalkan sendiri. Sama seperti sebelumnya. Bodoh sekali, kamu Cindy, kenapa
hatimu sudah terpaut dengan pemuda asing aneh itu? Aneh, sungguh aneh. Semenjak
Evan membuka pembicaraan, senyumnya menjadi magnet bagi dunia sadarku.
“Tahun depan kita melihat pesta kembang api bersama
ya. Jangan pergi sendirian lagi, kan sudah ada aku,” kalimat itu terngiang lagi
di ingatanku. Kalimat dari seseorang yang telah menjadi bagian mimpiku selama
hampir tiga tahun masa sekolah SMU. Tahun lalu adalah tahun dimana aku mulai
mencicipi dunia baru, masa kuliah. Aku merasa lengkap, setelah berkawan selama
hampir tiga tahun akhirnya ia mengucap kata sayang dan meningkatkan hubungan
kami menjadi sepasang kekasih.
“Iya, tentu. Sekarang aku punya seseorang untuk
diajak melhat acara kembang api bersama,”
“Kalau dari dulu kamu emang pengen ada yang nemenin,
kenapa nggak ajak aku? Kita kan udah temenan lumayan lama,” tanya Jay gemas,
tangannya mengacak rambutku yang diikat ekor kuda.
Hanya Jay yang mengerti hobiku menulis dan
menyendiri. Hanya Jay yang mengisi hari-hari murungku ketika orang tuaku
membuatku kesepian di rumah. Jay adalah murid populer di sekolah. Ia cerdas dan
lumayan tampan. Banyak sekali yang menyayangkan kenapa ia mau dekat denganku.
Riak di wajahnya hampir selalu berbentuk senyum. Senyum simpatik yang menarik
banyak orang. Sama seperti Evan.
“Sama seperti itu senyumnya, bisa jadi senyum itu
digunakan untuk menjerat mangsa,” hati kecilku berteriak mengingatkan.
Jatuh cinta itu indah pada awalnya. Seharusnya aku
tidak terlampau sok pintar, menilai tinggi diriku yang sudah jago meramu kisah
romantis tapi pada akhirnya dibuat gila oleh cinta. Jay menggenggam tanganku di
awal tahun lalu. Malam tahun baru 2013, aku menghabiskan waktu hampir semalaman
untuk menikmati pesta tahun baru di alun-alun Sidoarjo. Aku memutuskan untuk
tidak pulang ke rumah setelah mendengar kedua orang tuaku yang sedang
bertengkar hebat. Papa menuduh Mama selingkuh, sementara Mama menyebut Papa
lebih cinta pekerjaannya daripada keluarga. Aku duduk di sudut pendopo
alun-alun sendirian. Aku menangis tanpa suara. Panggilan telepon dari Mama dan
Papa kuabaikan. Untuk pertama kalinya aku tidak ingin sendiri. Aku menelepon
Jay yang sedang merayakan pergantian tahun dengan keluarganya. Ia datang,
genggaman tangannya membuat air mataku menyusut perlahan.
“Ayo kita cari jagung bakar, perut kamu pasti laper
habis nangis segitu lamanya,” goda Jay setelah mendapati wajahku kacau dan mata
sembab tak berbentuk.
Pesta kembang api telah lama berlalu. Jam di
tanganku menunjukkan pukul satu dini hari. Aku dan Jay bersenda gurau sambil
makan jagung bakar di dekat Masjid Agung Sidoarjo, lama-lama kesedihanku pun banyak berkurang.
“Aku sayang kamu Cin. Udah sejak lama aku suka kamu,
tapi baru sekarang aku berani bilang,”
Jagung bakar di mulutku belum sepenuhnya habis
terkunyah. Bola mata Jay nampak serius. Aku bingung harus menjawab ya atau
tidak. Rasanya aneh saja jika hubungan ini berlanjut lebih dari sekedar teman.
“Kok kamu malah diem aja? Kamu marah? Ya udah lupain
aja omonganku barusan,” Jay buru-buru meralat perkataannya.
“Siapa juga yang nolak, Jay. Aku kan belum jawab
apa-apa,”
Jay membisu, matanya berharap banyak padaku. Aku mengalihkan
pandangan ke arah lalu-lalang anak-anak muda di sekitar kami. warung-warung
tenda masih banyak yang buka. Anak-anak muda menikmati sisa malam untuk
bercengkerama bersama teman atau pulang membawa harapan baru di tahun yang akan
menjelang.
Aku memandang Jay lagi. Ada! Debar itu rupanya telah
lama bersembunyi malu-malu. Atas nama persahabatan, aku menguburnya
dalam-dalam, sampai-sampai aku merasa tak ada degup berlebihan tiap kali dekat
dengan Jay. Jay menikmati sisa jagung bakar pedas manisnya. Ini sudah dini
hari, tapi ia rela menemaniku yang sedang bersedih dan meninggalkan acara
pribadinya. Hanya ia seorang yang mau mengerti keresahanku.
“Iya Jay, aku juga punya perasaan yang sama seperti
kamu,” Jay hampir tersedak mendengar kata-kataku yang tak terduga. Ia kelabakan
mencari minum, wajah tampannya memerah.
“Eh, beneran nih?”
“Iya bener, kamu pikir aku bohong? Aku kan nggak
pinter ngelawak seperti kamu,” tukasku yakin, wajah berseri-serinya membuat
dadaku hangat.
“Tahun depan kita melihat pesta kembang api bersama
ya. Jangan pergi sendirian lagi, kan sudah ada aku,” itulah janjinya padaku,
namun nyatanya semuanya tak berjalan sesuai harapan. Tahun berikutnya aku tetap
pergi sendirian.
***
Manusia itu adalah makhluk yang terlahir egois. Hubungan
dekat antar manusia, membuat seorang manusia merasa berhak untuk saling mengekang. Orang tua akan
mengekang kebebasan bermain anak-anaknya dengan alasan agar tidak salah
pergaulan. Seseorang merasa berhak meminta sahabatnya untuk ikut membenci orang
lain, walau sahabatnya tidak memiliki masalah dengan yang bersangkutan. Sesorang
merasa berhak mempersempit ruang gerak kekasihnya. Egois bukan? Itu juga yang
terjadi padaku setelah aku dan Jay saling mengungkapkan rasa sayang.
“Temenin aku
nonton dong, jangan sibuk nulis aja,” keluh Jay untuk kesekian kalinya. Aku tak
mengerti, padahal baru tiga hari sebelumnya kami pergi ke bioskop, jelas saja
aku menolak ajakannya. Aku harus menyelesaikan novel yang deadlinenya semakin
merapat.
“Sudah dekat deadline nih, Jay. Editorku bisa
marah-marah kalau aku nggak setor naskah tepat waktu. Tugas kuliah juga lagi
banyak-banyaknya,”
Jay mengeluh panjang pendek,”Nulis aja kamu pikirin,
pacar sendiri dicuekin,”
h “Bukan maksudku begitu, kita kan baru aja nonton,
jadi menurutku udah cukup jalan-jalannya, aku juga punya tugas yang harus
diselesaikan,”
Jay berubah. Awalnya ia selalu memahami kesibukanku.
Aku butuh kesendirian untuk mengumpulkan ide menulis. Jay berubah dengan segala
tuntutan-tuntutan egoisnya- atas nama kekasih katanya. Entah sejak kapan,
senyum Jay yang menyejukkan semakin lama semakin tak terasa indah lagi.
Untungnya, kedua orang tuaku berusaha rukun kembali, sehingga rumah menjadi
tempat persembunyianku dari tekanan Jay.
“Sayang, kamu harus nemenin aku maen basket ya,
temen-temenku ngajak ceweknya kok jadi kamu pasti ada temen ngobrol,” kata Jay
suatu hari,”sayang, jangan nulis dulu. Yuk, temenin aku ngobrol, aku belum
ngantuk soalnya,” pinta Jay jika insomnianya kambuh mendadak.
Kupikir mencintai adalah berkorban dengan sepenuh
hati. Memberi tak mengharap kembali adalah esensi cinta sejati. Faktanya, yang
kuinginkan tak pernah terpenuhi. Pengertian yang kubutuhkan sebenarnya sangat
sederhana- aku ingin memiliki ruang sendiri lagi. Bersama Jay duniaku semakin
berwarna, tetapi nafasku habis hanya untuk menyamai langkahnya. Senyumnya terlalu
luas disebarkan pada dunia, aku tak lagi merasa istimewa.
”Kita terlalu
berbeda, jadi pasti akan saling menyakitkan jika dipaksakan bersama,” itu
ungkapan penghabisan dari Jay di pertengahan bulan Juni. Aku tak sanggup marah
atau sekedar mengumpat. Jay mengajakku makan malam di salah satu restoran cepat
saji yang terletak di dalam mal Sun City.
Aku mengangguk. Singkat saja, dan kami makan dengan
berdiam diri. Jay mengantarku pulang untuk terakhir kali. Kucatat dalam hati,
bahwa senyum itu bukanlah milikku lagi. Aku memperhatikan punggung Jay yang
perlahan mengecil dari pandangan. Suara motor sportnya sudah tak terdengar
lagi. Papa dan Mama tersenyum menyambut putrinya, aku membalas senyum itu
kikuk. Senyum itu menyakitkan. Aku tak mampu tersenyum lagi. Jay membawa senyum
rahasiaku bersamanya. Mati.
***
Tes,
tes,
titik hujan mengenai wajahku. Kulirik jam tangan sekali lagi, setengah jam lagi
tahun 2014 akan menjadi penghias utama seluruh kalender di dunia. Kupercepat langkah
menuju pendopo kabupaten. Cuaca sangat tak mudah ditebak, sama seperti hati
manusia. Cerah pada awalnya belum tentu tidak akan mendung setelahnya. Kucari rambut
jabrik Evan, tak kutemukan ia dimanapun. Dasar laki-laki aneh, muncul
tiba-tiba, menghilang juga tak ada pesan. Atau jangan-jangan ia bukan manusia
ya?
“Honey,
nanti kita nyalain petasan banting aja ya,” seorang pemuda berpakaian kemeja
kotak-kotak dan bertubuh sedikit tambun sedang membujuk kekasihnya. Jarak dari
posisiku berdiri dengan pasangan yang juga berteduh di pendopo ini hanya
sekitar empat langkah.
“Pokoknya aku cuma mau main kembang api aja, lebih
romantis kesannya. Petasan banting itu bikin aku ngeri dengernya, kenceng
banget suaranya,” si gadis berambut lurus halus merajuk pada kekasihnya.
Dialogpun berlanjut, si pria bertubuh subur tetap
kukuh dengan keinginannya, sedangkan si wanita semakin cerewet dengan
rajukannya. Pemandangan yang membosankan. Sungguh hanya karena sebuah perbedaan
keinginan sepele, dua anak manusia yang seharusnya sedang berbahagia di malam
pergantian tahun itu malah serius berdebat. Begitukah yang dinamakan cinta? Cinta
yang dipenuhi tuntutan, bukannya memberi keleluasaan.
Hujan turun semakin deras. Hawa dingin membawaku
dalam kaleidoskop masa lalu, aku terombang-ambing di tengah batas kesadaran. Aroma
tanah menusuk hidung, aku nelangsa. Aku benar-benar tidak ingin sendiri. Aku ingin
menggenggam tangan seseorang di saat kembang api raksasa dinyalakan. Senyum itu
sudah menghilang, aku ingin mencarinya namun aku tak tahu kemana senyum itu
lenyap.
Perdebatan sepasang kekasih di sampingku terhenti. Kemenangan
berada di pihak si wanita. Wajah kekasihnya tampak putus asa, mungkin ini sudah
kesekian kalinya ia mematuhi maklumat perempuan yang ia kasihi itu- sama
sepertiku dahulu. Melihat mereka dari posisiku sekarang, sungguh menyedihkan. Jadi
aku semenyedihkan itu ya? Atas nama cinta aku perlahan mengesampingkan kebahagiaanku
sendiri. Aku sempat menyisihkan waktu menulis ke prioritas terakhir setelah
Jay, Jay dan Jay. Jay selalu bersikap manis sebelum kami menjadi sepasang
kekasih. Sayangnya, label kekasih itu menjadikan seseorang egois tanpa kentara.
Halus sekali. oh, jadi itu alasan perginya senyum rahasiaku.
“Aku mencarimu dari tadi, eh ternyata ada di sini,”
Evan menepuk bahuku,tubuhnya basah kuyup.
“Kamu habis hujan-hujanan?”
“Jelas dong, emang kamu nggak lihat rambut sampai
sepatuku basah gini?” Evan pura-pura kesal, mulutnya mencebik lucu.
“Kemana kamu tadi? Kok ngilang gitu aja terus muncul
lagi di sini?”
“Aku nyari benda yang mungkin bisa bikin kamu
senyum,” selorohnya seraya menyodorkan bungkusan tas plastik hitam.
Kubuka bungkusan itu, ada lima bungkus kembang api
di dalamnya. Senyum kecil terbit di wajahku,”Ngapain kamu susah-susah pengen
liat aku senyum?”
“Karena membuat orang lain tersenyum akan memberi
energi positif buatku. Sekarang aku lagi sedih, jadi aku butuh senyum tulus
untuk sumber tenaga hidup,”
Aku tertawa tanpa alasan. Aneh sekali pemuda lucu
ini. Benar tebakanku kalau ia sedang dilanda kesedihan.
“Tunanganku hari ini menikah dengan sahabat dekatku.
Makanya aku pergi ke Sidoarjo, terlalu banyak kenangan pahit yang ada di
jalanan Surabaya,”
“Evan, kamu sedang patah hati lalu sekarang kamu
ingin merayu gadis asing yang baru kamu kenal?” aku sedikit kesal mengetahui
penyebab kesedihannya. Hei, bukankah aku tidak berhak marah?
“Spontan aja Cindy. Aku mencari tempat duduk, dan
kulihat kamu sedang duduk sendirian. Bagaimanapun aku nggak mau sendirian di
tempat yang jarang kudatangi. Aku ingin merasakan kehadiran seseorang di
sampingku walau ia tak kukenal,”
“Seharusnya kamu tak perlu bersikap terlalu ramah,”
“Aku juga nggak tahu, aku hanya ingin. Wajahmu yang
susah tersenyum dan tatapanmu yang penuh curiga membuatku penasaran. Denger ya,
aku ini dijuluki sebagai Prince of Smile, jadi udah tugasku untuk membuat
seorang gadis cantik menemukan senyumnya,”
Aku mengernyitkan alis,”Seperti Don Juan dong,
memikat tiap wanita yang baru dikenalnya,”
“Don Juan itu siapa? Aku tahunya James Bond. Aku
bukan buaya kok, masa wajah seganteng dan seunyu aku kamu kira playboy?”
“Lantas kenapa?”
“Aku melihatmu sebagai orang yang sama-sama terluka.
Spontan dan kebetulan kita bertemu,” kalimat Evan langsung menghunus sepiku. Aku
malu.
“Sok tahu!” sergahku.
“Eh, ini udah waktunya. Ayo kita nyalain kembang
apinya,”
“Evaan, masih kurang lima menit lagi sebelum jam dua
belas. Kembang api raksasanya belum nyala tuh,” aku menunjuk ke arah langit
gelap yang ditumpangi hujan.
Beberapa orang di sekelilingku dan Evan menatap
aneh. Seorang pemuda basah kuyup dan gadis kesepian sedang berselisih pendapat
soal kembang api. Evan cuek-cuek saja, ia menyalakan korek api dan mengambil
sebungkus kembang api dari dalam tas plastik hitam yang kubawa. Kembang api
pertama menyala, percikannya ikut menyalakan sudut kecil hatiku yang lama
terlelap.
“Kembang api itu seperti kita Cin. Pijarnya terang
sekali dan membawa kehangatan, tapi beberapa detik kemudian habis tak bersisa. Kembang
api menyala untuk membuat orang lain gembira, tapi orang yang menyalakannya tak
peduli apakah si kembang api menderita atau tidak saat tubuhnya dibakar,”
“Kamu ini, sok membaca pikiranku. Iya, aku emang
sedang sedih, tapi kamu nggak tahu pasti sebabnya,”
“Semua kesedihan itu sumbernya sama. Sumbernya dari
manusia lain yang tak memenuhi harapan kita. Coba kalau semua harapan itu
benar-benar digantungkan pada Tuhan, pasti kesedihan tak akan berlarut sampai
menghisap energi bahagia kita,”
Aku terperangah. Evan berusaha menghibur dirinya
sendiri sekaligus memberiku nasehat. Terkadang Tuhan mempertemukan manusia
dengan manusia lain lewat kejadian tak terduga. Kini aku mengalaminya.
“Orang galau ketemu orang galau bisa saling mendeteksi
lho,” ujarnya lagi, aku mulai berpikir apa dia seorang cenayang atau mentalis? Semua
dugaanku sebelumnya dapat ditebak dengan presisi yang nyaris tepat.
Duarr,
blaar. Kembang api raksasa menyala membelah hujan. Tahun 2014
telah tiba. Kembang api di tangan Evan juga telah padam. Aku merenung dan terus
merenung. Senyum itu sebenarnya tak hilang, hanya saja karena kesedihan
lokasinya jadi tersamarkan.
“Evan,”
“Yap,”
“Aku bisa minta tolong? Tolong ajari aku tersenyum
dan membangkitkan senyum orang lain. Ah tidak, senyum untuk diriku sendiri saja
dulu,”
“Imbalannya?” tanyanya dengan senyum jenaka. Senyum itu
membuat kupu-kupu di jantungku beterbangan.
“Hmm, rahasia. Tergantung hasilnya,”
Evan mengacak rambutku. Aku kikuk menerima perlakuan
akrabnya. Kami tertawa tanpa komando. Sepertinya sudah kutemukan. Senyum itu
datang secara spontan. Apakah ini bisa kusebut debar romantis atau hanya
persahabatan? Akupun tak tahu. Yang kutahu senyumku tak lagi rahasia.
Biodata Penulis:
Nama : Reffi Dhinar S
Twitter : @Reffi_angel
Email : reffi.new2@gmail.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar