Menatap Punggung Pria itu

“Bisakah kita mengulang hal-hal yang sudah terhapus?” katanya padaku, sore itu.

Ia berjalan mendekatiku di sela acara pameran lukisan yang sedang kuikuti. Sosok tingginya yang mencolok dan bercahaya membuatku terkejut. Untuk apa dan dengan tujuan apa ia kemari? Ingin sekali kuhajar wajah kharismatik yang selalu memancarkan senyum bersahabat itu.

Aku sedang berbincang dengan salah satu kolektor lukisan yang tertarik dengan hasil karyaku.  Kebetulan saja aku menjadi anggota sebuah komunitas pelukis di Surabaya dan kebetulan pula dua buah lukisanku terpilih untuk disertakan dalam acara pameran seni. Dua lukisan yang kuanggap biasa-biasa saja, kini bertengger terhormat di ruang Merah Putih Balai Pemuda. Lalu tiba-tiba saja, pria itu muncul. Menyebalkan.

“Tidak ada yang bisa terulang, karena jika kita memaksakan, pastilah dunia akan menemui kehancuran,” jawabku setelah pembicaraan dengan calon pembeli lukisaanku selesai.

Dahi pria itu berkerut menyatukan alisnya yang tebal,”Mengapa tidak bisa? Apakah itu sudah menjadi hukum paten ataukah itu hukum yang kamu buat sendiri?” beberapa detik kemudian senyumnya mengembang lagi. Sepertinya ia senang bisa membuatku berpikir atau mungkin kalah oleh pernyataannya.

Aku mengalihkan pandangan dari matanya ke arah lukisan seorang gadis kecil yang terlihat bagian punggungnya saja,”Itu bukan hukum paten atau hukumku, melainkan hukum manusia. Coba saja anda tanyakan pada semua orang, apakah masa lalu yang buruk bisa mereka lupakan? Hmm, mungkin dapat terlupakan, seandainya manusia itu mengalami amnesia,”

“Maafkan aku,”

Kalimat singkat yang ia ucapkan membuatku terkejut. Sontak aku menoleh ke arahnya. Sinarnya yang sedari tadi menyala itu, sekarang sedang meredup. Masa lalunya yang juga menjadi bagian masa laluku mulai menampakkan wujudnya melalui mata kami.

“Untuk apa?” tanyaku penasaran, seumur hidup baru pertama kali ini aku melihatnya meminta maaf.

“Untuk segala yang telah terjadi dan siapapun yang telah tersakiti,” ujanya lirih. Kini ia tak mampu menatap mataku langsung. Ia memerhatikan lukisanku yang lain. Sebuah lukisan yang menggambarkan seorang anak kecil duduk sendirian di tepi pantai, hanya terlihat punggungnya,”apakah lukisan-lukisanmu ini menunjukkan kegelapan hatimu?” tanyanya lagi.

Aku menganggap pertanyaan terakhir sebagai pertanyaan retoris. Apakah perlu kupukulkan kepalanya ke tembok? Apakah ia tidak ingat dengan tangisanku saat ia pergi begitu saja tanpa pernah menolehkan wajahnya? Semua janji manis dan rancangan masa depan yang ia katakan padaku, ternyata hanyalah dongeng di saat aku terjaga.

“Anda benar,” sahutku, ia menoleh sekilas gugup. Cahaya itu berusaha ia tampilkan lagi, namun gagal muncul.

“Bagaimana dengan keadaan ibumu?” kini ia mengalihkan pembicaraan.

Aku menghela nafas panjang. Rasanya aku ingin pergi saja dari hadapan orang yang sudah kuanggap asing ini,”Ibuku baik-baik saja. dia adalah orang yang mengalami pukulan paling berat setelah kepergianmu. Ibuku terbiasa dengan hal-hal stabil dalam hidupnya, tapi sejauh ini ibu tetap mampu beraktivitas secara normal,” lebih tepatnya ibuku tenggelam dalam kesedihan setelah mengetahui bahwa kehancuran hatiku sudah tak bisa dibenahi lagi.

“Aku hanya ingin mengejar mimpiku, jika aku masih terikat di tempat kita dulu, pasti aku tidak bisa mengejar mimpi masa kecilku,”

“Apakah itu adalah alasan yang ingin anda ucapkan padaku? Seingatku anda tak mengucapkan satu patah katapun,”

Tidak ada yang salah dengan mimpinya. Ia ingin menjadi penulis besar seperti idolanya, Pramoedya Ananta Tur dan Hans Christian Andersen yang karyanya melegenda. Tetapi demi mimpi itu, ia tega memotong mimpi indahku, dan membuatku dendam hingga sekarang.

“Jadi kamu ingin membalas dendam setelah bertemu denganku? Terus terang aku siap sekaligus senang, sebelum mati aku bisa melihatmu telah mencapai mimpimu walau sempat mengalami masa-masa suram,” ia menyentuh lukisanku yang kubuat sedikit timbul,”jangan panggil aku dengan kata ‘anda’ lagi,”

Aku menyentuh jemari tangannya yang hangat, jemari ini selalu kurindukan sejak dulu,”Maaf ayah, jika anda memang ingin dipanggil seperti itu. Sepuluh tahun ini bukanlah waktu yang singkat untuk menjahit luka. Tidak ada yang salah di antara kita kecuali masa lalu,”

Wajahnya yang sedikit tegang, perlahan mengendur. Cahaya itu mulai muncul lagi. Kulepaskan jemarinya dan tak berkata apa-apa lagi. ia mengangguk maklum, kemudian melangkah pergi. Aku hanya melihat punggungnya. Tiba-tiba saja aku menjadi diriku yang berusia lima belas tahun, dan melihat punggung ayahku semakin jauh dari pandangan.

“Suatu hari nanti, kita bangun rumah yang besar ya, ayah, ibu dan kamu tinggal di rumah yang indah seperti istana,” itu janji terakhir darinya.

Kedua lukisan gadis kecil yang hanya terlihat punggung ini, kubuat untuk mengenang kepergiannya. Seandainya, masa lalu bisa terulang. 

2 komentar

Wulansari mengatakan...

Wah bagus. Kupikir laki-laki itu kekasihnya... hihi Top deh! :)

Reffi Dhinar mengatakan...

makasiih banyak sudah mampir mbak :D