Hujan Membawamu Pergi

Lagi-lagi hujan menjadi pengantar tidurmu. Dingin menusuk tulang, menyusup melalui celah-celah rumah kardus. Setidaknya kamu dan saudaramu yang memiliki sakit asma kambuhan itu, masih bisa memejamkan mata.

Tapi malam ini kau masih terjaga. Mata bulatmu begitu suram kehilangan auranya. Apakah gara-gara kejadian tadi siang? Kakimu sakit berusaha mengejar perempuan bersepatu hak tinggi tadi, namun meskipun perempuan itu sempat menoleh, kau tetap diacuhkan. Dihiraukan.

“Ibu,” panggilmu memelas.

Suaramu lenyap ditelan pejalan kaki yang tega menyeruduk tubuh kecilmu. Matamu mulai mengalirkan hujan gerimis. Bukan karena perut kecilmu dan adikmu seharian belum makan, bukan juga karena uang receh yang tidak bisa membuatmu kaya raya, tapi karena perempuan yang kaupanggil Ibu itu menganggapmu sebagai lalat yang layak dijauhi.

“Tadi kakak bertemu Ibu?” tanya adik kecilnya, ia tadi mengawasi dalam diam ketika kakaknya berlari mengejar perempuan yang dipanggil Ibu.

“Iya, tapi mungkin Ibu sedang sibuk, makanya tidak bisa menemui kita. Tapi pasti nanti dia akan menjemput kita kemari,” kau berusaha menenangkan adikmu dan tersenyum, meski itu getir.

Kau pun mulai membayangkan kenangan-kenangan saat ibumu masih ada. Ia adalah seorang perempuan yang selalu tersenyum meski dunia tak selalu manis memberi kalian hadiah. Ibu yang ada di bayanganmu, sama sepertimu, rambutnya selalu dijalin menjadi satu dan pakaiannya usang dengan noda yang sulit hilang.

Dan pada suatu hari, seorang pria asing mendatangi rumah kalian. Berikutnya, ibumu makin lama, makin jelita. Tak lama kemudian, ia pergi tanpa pernah menoleh ke belakang.

Ada bagian yang hilang, yakni kepercayaan dan kebahagiaan.

“Ibu pasti akan datang, Dik,”

Suara lembutmu menenangkan hati adikmu. Hujan pun mulai turun dengan gagahnya di luar rumah kardus. Adikmu mulai terlelap dalam pelukanmu, tanpa kau sadari kakimu menyenggol wadah lilin penerang rumahmu.

Rumah kardus diselimuti api. Wanita berpakaian modis yang kaupanggil Ibu, duduk tersedu di bekas abu. Hujan sudah mengusir api itu, tapi tak mampu menyelamatkan kau dan adikmu. Lagi-lagi hujan membawamu. Lagi-lagi hujan di bawah kelopak mata, dengan segumpal penyesalan yang tak akan hilang. Mungkin selamanya.

2 komentar

Yuni Handono mengatakan...

Hujan selalu membawa kenangan. Setiap hujan datang, ada rasa yang tiba2 hadir dalam hati, teringat sesuatu yang pernah terjadi...

Bukan Blog Biasa mengatakan...

Kadang hujan datang di saat yang tidak tepat.