Sebenarnya Kamu Ingin Jadi Apa?



Ketika saya memilih jurusan bahasa Jepang saat kuliah dulu, banyak orang menyangsikan pilihan saya. Bertahun-tahun tampil cemerlang dalam bidang pelajaran bahasa Inggris, bahkan saya mendapatkan banyak prestasi dari lomba debat, story telling atau pidato, saya malah seolah dianggap salah jalur. Saya juga ditanya, kenapa tidak memilih jurusan eksakta, sesuai dengan kelas jurusan di masa SMU. Selain itu banyak yang heran, padahal saya memiliki bakat di bidang tulis menulis, kenapa dulu tidak memilih Sastra Indonesia saja? Memangnya saya mau jadi apa?

Jawabannya simple, saya ingin menjadi diri saya sendiri. Saya sadar jika rasa ingin tahu dan haus belajar hal baru adalah watak sejak kecil. Bukannya menyombongkan diri, soal eksakta, saya memang hanya menuruti kemauan orang tua karena jurusan IPA atau sains diangap lebih bergengsi daripada jurusan sosial. Padahal saya sangat suka sejarah. Saya memang senang belajar bahasa Inggris, tetapi di zaman sekarang, piawai berbahasa Inggris bukanlah hal yang aneh. Saya  bosan untuk terjun di hal yang sudah cukup saya kuasai. Saya bisa menulis artikel pendek dan puisi dalam bahasa Inggris, mengartikan artikel dan juga berbicara cukup lancar sejak masa sekolah menengah. Jadi untuk apa saya harus belajar lagi selama empat tahun di bangku kuliah?

Sementara kenapa saya  dulu tidak memilih jurusan Sastra Indonesia, karena saya merasa tidak punya minat untuk mendalami frasa, klausa atau struktur kalimat yang sering membuat saya frustasi. Saya sangat suka membaca dan menjadikan tulisan sebagai passion yang bisa memberikan rupiah, tetapi bukan berarti harus menjadi ahli bahasa Indonesia juga. Makanya saya sangat kagum dengan kawan-kawan yang mendalami bahasa Indonesia. Para ahli gramatikal dan linguistik itu selalu membuat saya kagum. Saya hanya belajar sambil menulis, tentu berbeda kadar ilmunya. Biarkan orang lain menjadi ahli bahasa Indonesia, yang penting saya masih sangat mencintai bahasa ibu saya.

Bahasa Jepang menjadi sangat menarik karena saya tertarik dengan huruf-hurufnya yang aneh. Kesenian dan kebudayaanya yang sering saya baca lewat komik atau artikel, mendorong saya untuk mendalami lebih jauh lagi. Dan awal mula memilih jurusan kuliah, saya harus berdebat dengan Papa.

Komitmen dan Juga Sedikit Sumpah

Papa saya bilang jika sastra jepang bukanlah jurusan yang mudah. Sudah banyak kasus awal mulanya banyak sekali yang masuk, namun tiap bertambah tingkatan maka pembelajar akan tertekan hingga memutuskan pindah jurusan. Saya tetap teguh memilih sastra jepang. Sampai saya akhirnya bersumpah begini,”Papa, aku pasti akan selalu menjadi yang terbaik di kelas. Aku akan menjadi mahasiswi yang tidak membuang uang orang tua. Aku akan membuat hasil yang terbaik, sampai lulus.” Padahal saya tidak tahu bagaimana nantinya.

Saya sempat mengambil kursus selama dua tahun saat duduk di kelas 2 SMP, dan hasilnya juga pas-pasan. Makanya saya gemas dengan hasil yang biasa-biasa itu. Di saat kuliah, saya menganggap kuliah sebagai sebuah medan games. Huruf kanji yang rumit, tata bahasa yang sangat banyak, bahan bacaan yang tak biasa, adalah tantangan yang harus saya taklukkan di setiap kenaikan tingkat serta level.


Saya Hampir Putus Asa

Sering saya merasa lelah dan ingin berhenti belajar. Tetapi saya ingat janji saya sendiri. saya tidak ingin mengecewakan orang tua, makanya berkali-kali mendapat beasiswa dan mendapat IP di atas 3,6 dan juga pernah mencapai sempurna adalah bentuk pembuktian janji saya sendiri. Saya belajar shodo, salah satu kesenian kaligrafi Jepang, sampai tangan capek, namun banyak pengalaman berarti selama saya belajar shodo.

Pakaian saya sederhana, cuek dan tidak mengikuti trend. Muka saya berminyak, kusam dan juga rambut diikat sekadarnya, tapi saya tak mau kalah soal nilai. Saya belajar berorganisasi lewat event kampus, saya memiliki kawan-kawan satu kelas yang kompak dan banyak melakukan kegilaan. Perlahan saya merasa, jika memilih kampus dan jurusan ini memang episode paling berkesan dalam masa saya sebelum menjadi dewasa.

Lalu Jadi Apa?

Selepas lulus kuliah, saya bekerja sebagai penerjemah bahasa Jepang. Setahun berikutnya saya masuk dalam divisi General Affair sehingga memiliki job desc yang lebih beragam, tak lagi khusus menerjemahkan. Bahasa Inggris, Jepang dan juga ilmu matematika sederhana  saya terpakai semua. Saya merasa kaya ilmu baru.

Kini saya juga masih aktif menulis hingga memiliki 4 buku solo, puluhan antologi. Merambah hal baru saya belajar ngeblog lalu mencoba menjadi seorang buzzer di socmed. Kelihatannya terlalu beragam, dan sempat mengundang tanya.

Kamu ini maunya jadi apa?

Saya sudah menemukan. Suatu hari nanti saya ingin menjadi penulis inspiratif, serba bisa dan memiliki sekolah bahasa dan menulis. Saya ingin jika anak-anak Indonesia yang kurang beruntung, bisa belajar menggunakan socmed untuk berbisnis. Saya ingin mereka mencintai buku dan belajar bahasa asing tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Saya ingin menjadi kekuatan bagi anak-anak yang haus mencari ilmu baru seperti saya. Makanya, saya harus memiliki banyak bekal pengetahuan yang cukup untuk sekolah saya sendiri nanti

.
Apakah mungkin? Pasti bisa. 

Karena impian kecil saya dulu, perlahan tercapai karena saya percaya
.
Saya tak perlu menceritakan pada tiap orang yang bertanya tentang rencana terbesar dalam hidup saya. Cukup lewat tulisan ini. Biarlah orang menilai saya tak punya impian yang fokus atau bukanlah orang yang ambisius. Saya percaya, pantang menyerah dan mau belajar disertai kerendahan hati akan menarik hal baik untuk diri saya. Saya masih terus belajar. Dan saya ingin menjadi diri saya sendiri, seorang Reffi yang suka bahasa asing dan menulis. Saya bukanlah anda yang mungkin senang mencapai puncak karir di perusahaan besar. Namun saya menghargai pekerjaan saya saat ini di kantor karena semua pembelajaran baru bisa saya aplikasikan pada diri.


3 komentar

zata mengatakan...

semoga bisa segera terlaksana punya sekolah bahasanya yaaa..

saya juga pecinta bahasa dan ngalamin masa2 belajar bahasa. Bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan yang sampe skarang ngga bisa-bisa adalah bahasa Spanyol. Pernah kursus di UI, cuma 3 bulan trus nyerah karena waktu dan karena susah juga sih, hehehe..

Roma Pakpahan mengatakan...

Ruaaar biasa komitmennya mbak Reffi dalam membuktikan janji pada diri sendiri. Fase yang paling sulit itu loh, memenuhi janji pada diri sendiri. Sukses selalu mbak :)

Reffi Dhinar mengatakan...

thanks all semua :)