Bukber
bareng adalah momen yang sering dilakukan di bulan Ramadan. Siapa sih yang
tidak pernah mendapatkan undangan bukber? Namanya bulan puasa, rasanya kurang
afdal jika tidak diselingi dengan acara bukber alias buka bareng.
Namun, merasa
nggak sih kalau undangan bukber
bareng yang bertumpukan tersebut juga bisa menjadi sumber stres baru? Ada salah satu rekan kerja saya yang pernah
berseloroh,”Bulan Ramadan bukannya uang kita bisa hemat, eh ujung-ujungnya malah
bikin kantong jebol. Salah satunya karena kebanyakan jadwal bukber bareng,”
Kalau boleh
jujur, saya termasuk yang cukup sependapat dengan kalimat rekan saya tersebut. Meskipun
saat ini saya masih lajang, saya benar-benar memiliki pemikiran matang soal
uang. Saya menyisihkan dana untuk menabung, dana untuk biaya hidup selama satu
bulan plus biaya kos dan sedikit-sedikit memberi untuk orang tua ataupun adik. Banyak
yang mengatakan kepada saya jika hobi traveling itu malah menghabiskan biaya
besar tetapi saya malah pilih-pilih datang
di undangan bukber.
Jawabannya adalah, untuk pos traveling, saya mengambilnya dari kerja freelance sebagai blogger, buzzer atau content writer. Memilih untuk tak selalu memenuhi undangan bukber adalah hak personal. Saya memilih untuk mengikuti bukber sesuai dengan feeling dan juga unsur manfaatnya.
Jujur saja,
beberapa kali mengikuti bukber bareng, tak selalu memuaskan hati saya. Setelah makan
bersama, masing-masing peserta sibuk dengan gawai lalu dimulailah percakapan sensitif
yang membuat saya semakin jengah.
“Kenapa
kamu nggak nikah juga?”
“Kenpa kamu
putus sama si A?”
“Eh, kamu
kerja di sini ya? Gajinya gede tuh, traktir-traktir kita sesekali doong,”
“Emang kalau
nulis itu dapat bayaran apa?”
“Kenapa
kamu nggak ganti hape baru sih?” dan komentar lainnya yang sedikit menyebalkan.
Pamer
gawai, pamer pekerjaan, pamer kendaraan adalah hal yang lantas menjadi
atmosfer. Dan sebagai bukti kehangatan hanyalah swafoto bersama. Lalu beres,
pulang. Tanpa kesan.
Seharian berpuasa,
kita berperang melawan hawa nafsu dan lapar juga dahaga. Salahnya, seringkali
dikonotasikan jika sudah waktunya berbuka, maka kita bebas melepas apa saja
yang seharusnya ditahan saat masih jam berpuasa. I’m not a holy person, it is a big NOT, tapi saya hanya ingin menikmati
waktu bersama kawan-kawan yang lama tidak berjumpa, hangat dan larut dalam
dialog penuh motivasi, bahkan akan lebih baik lagi jika dalam ajang ini
seseorang bisa membantu kesulitan kawan lamanya. Bukannya saling pamer, lalu
saling menyindir. Sebuah sindiran meski dibalut dalam candaan tetaplah bisa
berpotensi menyinggung.
Jadi jika
ada yang mengundang saya bukber bareng, jangan tersinggung jika saya tak selalu
bergabung. Saya pasti akan lebih mengutamakan buka bersama sahabat terdekat
dari SMU, kuliah dan di tempat kerja yang jumlahnya tidak lebih dari enam
hingga tujuh orang secara keseluruhan. Lebih seringnya lagi saya akan memilih
untuk berbuka bersama keluarga di rumah sebab saya tinggal di kos dan jarang
bertemu keluarga. Kalaupun saya bergabung dalam bukber sebuah komunitas, pasti
komunitas tersebut sudah menjadi tempat saya memiliki ‘keluarga’ hangat di
tengah masyarakat. It is just the matter
of ‘comfortable thing’.
(Baca Juga: Tips Ngabuburit Irit)
Sebelum mengadakan
acara bukber, tentunya panitia dapat mengondisikan bahwa tujuan diadakannya acara
adalah sebagai sarana saling bersilaturahmi, saling mengetahui kabar tanpa
membuat risih, dan pastinya bukan hanya ajang untuk datang-makan-ngobrol
sebentar-lalu pulang setelah foto bersama.
Harus ada rasa kekeluargaan serta
kenyamanan di dalamnya. Dan bagaimana kalau saya dan anda yang memulainya? Belajar
tidak mendiskreditkan orang lain lewat komentar berbalut canda. It is not easy, but we should try. Seharusnya bukber menjadi sarana untuk saling membangun networking dan mendukung satu sama lain.
5 komentar
betul ya, dan aku sih suak sebel kalau ditanya anaknay sdh nikah belum???, yg kecil sdh selesai kulaihnya belum, heee, aku jarang reuni deng krn jauh di luar kota reuniannya
hihi pakai istilah bukber bareng sih biasanya mbak,,salah konteks ya :D....tapii, memang bukber emang kadang kehilangan esensinya
yup yup...sejujurnya bukber ternyaman yang kurasakan (selain bukber dg kluarga) ya klo bukber di mushola kampung sendiri... diawali pengajian, saling silaturahmi antartetangga, laly buka sekadarnya, sholat magrib bareng, nerima nasi bungkus, maem di situ atu pulang bagi yg buru2,... afdal.
Sampe ga inget kapan trakhir bukber ama temen2 sekolah. Kalo temen kuliah malah ga pernah samasekali Krn dulu temen2 kuliah di Penang rata2 non muslim dan berasal dari negara2 lain. Makin ga pernah ketemu 🤣. Temen2 sekolah yg tersisa. Tapi trakhir kali ikutan, aku malah sebel Krn mereka godain aku Ama mantan pacarku, dan jelas2 suamiku ada di situ. Jadi ga nyaman aja.
Ga tertarik juga mba ikutan bukber gini. Aku LBH seneng bukber Ama orang2 yg aku kenal baik, yg bisa ngobrol enak nantinya. Bukan yg cuma pamer ini itu.. apalagi kalo selama acara pada sibuk hp 🤣🤣. Mending ga usahlah. Buang bensin aja kesana😅
Iya Mbak Fanny, rasa-rasanya kalau bukber cuma buat main hape lalu foto formalitas, tapi percakapannya kering, aku juga males banget. Mending keluarnya sama orang-orang paling dekat aja deh.
Posting Komentar