Rumput Tetangga Lebih Hijau Itu Ada Manfaatnya


Social media is a toxic. Kita akan dengan mudah mengetahui seseorang membeli jam bermerk, liburan ke luar negeri atau barangkali malah mendapatkan pekerjaan mentereng tanpa perlu duduk berbincang dengan si empunya cerita. Semua bentuk kesenangan itu akan mudah terekam di media sosial. Mengapa media sosial bisa menjadi racun? Karena baik bagi si pengunggah dan juga pengikut medsosnya, akan terkena sindrom ‘rumput tetangga selalu lebih hijau’.

Saya juga terkena racun itu. Meski dari luar terlihat happy-happy saja dengan hidup saat ini dan malah terkesan tidak ada masalah, diam-diam saya berdecak iri melihat kawan-kawan yang menorehkan prestasi hebat. Di dalam lubuk hati kadang-kadang bisa terlintas cemburu pada kesempatan yang saya inginkan namun malah diperoleh orang lain dengan mudahnya. Walau tak sampai membuat saya membenci atau mengubah saya menjadi hater,  sepertinya racun itu tak bisa saya hindari. Saya tak bisa benar-benar suci, jadi yang dapat saya lakukan adalah berhenti mengikuti akunnya atau menyibukkan diri dengan proyek pribadi.

BLOG KATA REFFI

Benar atau tidak, kebiasaan berselancar di media sosial itu terjadi ketika kita memiliki terlalu banyak waktu luang atau mungkin tidak ada kesibukan berarti. Parahnya meski sedang tenggelam dalam kesibukan pun, mengupload sesuatu atau sekadar searching itu tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Yang bisa kita kontrol hanya frekuensinya. Tidak update sama sekali  media sosial juga akan membuat kita jadi kuper. Kalau berlebihan dalam berenang di dunia maya, akibatnya kehidupan nyata dengan kesibukannya akan terabaikan. Yang berlebihan itu tak pernah baik.
(Baca juga: Etika Curhat)

Nah, setelah melewati banyak renungan panjang, yang sebelumnya saya menganggap sindrom ‘rumput tetangga lebih hijau’ itu dalam konotasi negatif, kini ada sedikit pergeseran. Perasaan iri itu kalau diolah dalam takaran yang cukup malah bisa mendorong kita untuk bisa lebih maju. Bagaimana bisa?

Pada dasarnya manusia itu sombong
Sebelum melempari saya dengan jutaan dalil dan khotbah, coba renungkan, apakah tiap tindak-tanduk kita itu benar-benar tulus tak ingin dinilai baik oleh orang lain meski hanya setitik? Istri berdandan cantik karena ingin dilihat suami, murid belajar rajin supaya dapat nilai paling bagus dan dipuji, pemuda berdandan rapi untuk memikat lawan jenis dan lain-lain. Asal komposisi sombongnya tidak sampai sundul langit alias over, itu sih tak masalah. Jadi ketika ada teman yang punya kendaraan baru atau gadget baru misalnya, bolehlah kita iri dan berniat ingin memiliki barang yang sama. Tapi please sombonglah pada dirimu dengan bilang,”Aku nggak butuh gadget canggih yang ganti tiap dua bulan sekali demi dinilai tajir, toh aku kan kerja buat nafkahin ortu dan adek. Duitku mah lebih berfaedah daripada beli gawai yang enam bulan berikutnya harganya anjlok.” Sombonglah dengan pencapaianmu meski hanya pada diri sendiri. Jangan berpikir jika apa yang dicapai orang lain itu diraih dengan cara instan. Mereka boleh pamer, anda juga. Namun yang membedakan adalah anda tak perlu koar-koar.

Biar tidak malas
Melihat teman bisa jalan-jalan ke kota lain atau luar negeri misalnya lantas membuat hati remuk-redam. Daripada sibuk nyinyir dan menganggap jika mereka terlalu menghamburkan uang, kenapa tidak memotivasi diri supaya tidak malas bekerja dan menabung lalu pergi ke kota yang sama? Tempelkan foto kota atau negara tujuan yang ingin dikunjungi di dinding kamar. Pandangi tiap mau tidur  dan bangun pagi. Bekerjalah lebih giat,  jangan hanya sibuk meratap di atas kasur.

BLOG KATA REFFI


Asah kelebihan lebih keras
Tiap orang lahir dengan keunikan masing-masing. Kita takkan bisa sama dengan mereka atlet nasional yang sudah berhasil mengharumkan nama bangsa lewat raihan medali emas. Saya selalu iri dengan artis atau siapapun yang berhasil meraih beasiswa luar negeri. Kesempatan itu belum saya miliki meski saya bisa berbahasa Jepang lancar dan lumayan bisa berbahasa Inggris. Realitanya saya punya kemampuan menulis. Jadi kemampuan berbahasa asing itu saya asah menjadi profesi dan menulis sebagai jalan menyalurkan ide di kepala. Tanpa sadar, passion tersebut memberikan saya jalan untuk berprestasi. Di saat saya menganggap mereka yang mendapat beasiswa itu super keren, ternyata banyak pembaca tulisan saya yang ingin belajar menulis pada saya. Malah ada yang terang-terangan menyatakan kekaguman pada tulisan saya meski hanya sekadar status iseng di media chat. Daripada meratapi hal yang belum bisa kita miliki, lebih baik asah kelebihan dan passion yang kita cintai. (Baca Juga: Tanda Kita Belum Sepenuhnya Merdeka)


Hidup lempeng tanpa motivasi itu sangat membosankan. Datar-datar saja tanpa impian juga sangat sia-sia buat waktu. Bolehlah bermimpi, asal jangan sampai menyiksa diri sendiri pada angan-angan semu. Hadapi realita, disiplin untuk berkarya dan jangan lupa rendah hati jika sudah dianggap memiliki prestasi.

3 komentar

Okapi note mengatakan...

manusia memang sifatnya egois dan sombong.
hawanafsu yang tinggi sehingga membuatnya tidak pernah ada rasa puas. kebiasaan orang2 kita terlalu sering komentar tapi gak mau act. ngomongin orang, iri sama orang, padahal sendirinya juga bisa melakukan apapun bahkan lebh dari orang lain.

Reffi Dhinar mengatakan...

yap, dan tugas kita untuk berhasil dengan passion kita sendiri :)

Dyah mengatakan...

"Pada dasarnya manusia itu sombong" itu bener banget. Tapi kalau nggak sombong, orang nggak akan berusaha untuk menampilkan apa yang terbaik yang dimilikinya. Gimana, ya...