Review Emakku Bukan Kartini




Judul: Emakku Bukan Kartini

Penulis: Hasanudin Abdurakhman

Jumlah halaman: 311 halaman

Tahun terbit: Cetakan kedua, April 2017

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 

“Tapi kan dia orang Jawa, bukan saudara Emak.”

“Suku memang beda, tapi kita ini saudara. Sama-sama berjuang, jadi saling menolong. Emak dengan istri Kang Kijan itu dulu macam kakak-adik, tak terasa macam orang lain.” (Halaman 44)

 

Kalimat tersebut membuat saya terhenyak. Sebuah kalimat yang diucapkan seorang ibu di dataran Kalimantan dan tinggal jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Betapa banyak di antara kita yang saat ini sibuk dengan kepentingan kelompoknya sendiri-sediri sehingga mudah sekali membara karena sedikit sentilan. Agama, suku, dan ras sekarang menjadi sebuah senjata yang mampu memecah-belah.

Buku ini adalah kumpulan catatan penulis untuk kedua orang tuanya, khususnya sang ibu yang dipanggil Emak. Penulis adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Ia lahir di sebuah perkampungan bernama Teluk Nibung. Teluk Nibung berada di jajaran pulau kecil yang masih menjadi satu wilayah dengan Kalimantan. Dikelilingi lautan, sebagian masyarakat Teluk Nibung bermata pencaharian sebagai nelayan dan sebagian lagi bertani.

 

Sosok Perempuan Visioner

Emak adalah sosok perempuan kampung buta huruf yang berbeda dari perempuan lain. Sejak kecil hasrat belajarnya sangat tinggi. Akan tetapi ia tidak pernah merasakan nikmatnya belajar agama atau sekolah, sedangkan Ayah sempat mengenyam pendidikan di sekolah rakyat sampai setingkat kelas 2 SD hanya sekadar bisa baca, tulis, dan menghitung sederhana. Walaupun tidak mengenyam pendidikan tinggi, Emak memiliki pemikiran visioner. Ia ingin taraf hidup yang lebih baik agar anak-anaknya nanti dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

 

“Mak, mengapa kita menanam padi?” tanyaku.

“Tentulah supaya kita punya beras untuk makan.”

“Tapi kan kita bisa membeli saja dari uang hasil menjual kelapa. Orang-orang yang sudah punya kebun kelapa seperti kita kan tidak berladang lagi. Mereka membeli beras saja.”

“Nak, uang kita mesti ditabung, untuk biaya sekolah abang kau, dan sekolah kau kelak.”

(Halaman 98)

 

Melalui kisah Ayah dan Emak ini kita juga bisa meneladani bagaimana hubungan suami istri yang harmonis juga turut berperan besar dalam membangun rumah tangga yang kolaboratif. Ayah adalah sosok yang dihormati di kampung. Di rumah Ayah jugalah yang mengajari Emak mempelajari ayat-ayat Alquran dan berdoa.(Baca Juga: Ulasan Novel Red Thread)

Di samping itu, Ayah sangat mengerti hasrat dan impian Emak untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Tidak ada sikap meremehkan. Bersama-sama mereka bekerja keras membuka ladang sendiri, membangun rumah sederhana, lalu mulai mencari cara untuk terus mengembangkan ladangnya. Tidak ada sikap menggurui Emak, Ayah adalah sosok suami idaman yang membuat saya terkagum-kagum.

 

Semangat dari Ayah dan Emak

Ketika pemerintah mulai membangun SD Inpres, Emak dan Ayah berharap kampungnya pun akan mendapat jatah. Sayangnya di pembangunan pertama, sekolah itu malah dibangun di kampung lain. Tak kurang akal, Emak dan Ayah mencari tanah untuk diwakafkan. Warga kampung pun bergotong-royong membangun sekolah baru. Guru diambil dari mereka yang sempat mengenyam pendidikan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) seperti kakak ipar penulis yang dipanggil Bang Long.

Kisah di buku ini seolah mengantarkan saya ke adegan-adegan menarik di Laskar Pelangi. Eksotisme perkampungan dan masa kecil penulis membuat saya ikut tersenyum membayangkan. Beberapa kali saya ikut menitikkan air mata ketika menyerap kalimat penuh semangat dari Emak. Demi menyekolahkan anak-anaknya, ia rela mengirimkan satu per satu buah hatinya  menyeberangi selat untuk bersekolah di kota. Tindakan Emak ini juga menjadi trendsetter di kampung. Selepas SD, orang tua yang mampu akan mengirim putra-putrinya ke kota. (Baca Juga: Proses Kreatif Red Thread)

Setelah mulai bisa mengumpulkan dana untuk sekolah, Emak punya cita-cita lain. Ia ingin membangun rumah di kota agar anak-anaknya tak lagi menumpang di rumah saudara. Saat itu Emak pun mulai berdagang kain dan pakaian. Kemudian kemampuannya bertambah sebagai ahli rias pengantin. Semua pekerjaan yang mulanya asing, perlahan dipelajari dan kini menjadikan keuangan keluarga lebih stabil. Hal ini menyiratkan jika Emak tak hanya pekerja keras tetapi juga sangat suka belajar. Kecerdasan itu menurun ke anak-anaknya termasuk pada penulis. Penulis memiliki cita-cita tinggi sejak kecil. Dengan segala jatuh bangunnya, akhirnya ia bisa bersekolah hingga ke Jepang.

Membaca buku ini, membuat saya makin bersyukur memiliki ibu seperti Emak dan ayah yang mengayomi serta mau mengerti. Tidak ada usaha untuk saling mengungguli. Orang tua saya menjadi teladan buat saya dan adik, seperti halnya orang tua penulis. Sebuah kisah yang sepatutnya bisa dibaca berbagai generasi. Sepertinya jika difilmkan pun tak akan kalah dari Laskar Pelangi.

4 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

makasih reviewnya

Lisdha mengatakan...

thank you for sharing this mbak. :)

Reffi Dhinar mengatakan...

sama2 :)

Reffi Dhinar mengatakan...

You're welcome :)