Perempuan dan Standar Nilai dari Pernikahan

 

 

perempuan dan standar nilai dari pernikahan

 

“S2 dulu atau menikah dulu?”

Salah satu iklan produk kecantikan dengan jargon tersebut pernah populer beberapa tahun lalu, mungkin kurang mirip tetapi sepertinya begitu. Seorang gadis cantik diberi pilihan apakah ia akan melanjutkan pendidikan atau memilih menikah? Meskipun iklan tersebut disampaikan dengan nuansa ceria, sesungguhnya saya merasa tertohok ketika mendengarkannya.

Bukankah iklan tersebut sedang menyindir? Perempuan diberikan pilihan semacam itu—terutama perempuan di tengah masyarakat kita—untuk menilai dirinya. Baru lulus kuliah S1, akan terdengar pilihan mau menikah langsung atau bekerja beberapa tahun. Kalau sudah bekerja, ditanya mau kapan menikahnya. Saat berencana melanjutkan pendidikan magister, pasti perempuan akan mendapat komentar, “Jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti sulit dapat jodoh. Laki-laki tidak suka perempuan yang terlalu pintar, nanti minder.”

Hidup selama dua dekade lebih sebagai perempuan, saya sudah hapal dan kenyang dengan cerita-cerita dari rekan-rekan sesama perempuan yang juga mendapat pertanyaan serupa. Mau seberapa majunya zaman, hidup di desa dan di kota, masih saja banyak yang menilai kualitas perempuan dari pernikahan, seolah kalau sudah menikah maka hidupnya telah sempurna.

 


Pernikahan adalah sebuah fase hidup dan saya sangat setuju jika pernikahan adalah sebuah hal yang sakral. Tetapi glorifikasi pernikahan sebagai sebuah tujuan kebahagiaan perempuan dan mengenyampingkan pendidikan di tingkatan kedua, membuat tekanan sosial terhadap perempuan ini lebih meningkat.

Bukan berarti laki-laki tidak mengalaminya, tetapi betapa banyak perempuan yang sering mengeluh atau galau di media sosial tentang dirinya yang belum menikah di usia yang dianggap sudah matang. Meskipun pekerjaan dan status pendidikan perempuan tersebut berkualitas, jika belum menikah maka akan dicap sebagai perawan tua. Kegalauan di media sosial ini menjadi salah satu indikator betapa sempitnya pilihan hidup perempuan.

 

Bahaya Kampanye Menikah Muda

Perempuan seharusnya juga mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bukannya terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan atas dasar gengsi keluarga atau tetangga. Saat ini bertebaran kampanye menikah muda demi mengekang hawa nafsu anak muda dan juga menegakkan syariat Islam lewat pernikahan.

Memang benar, menikah adalah salah satu  cara untuk memperoleh karunia dari Allah SWT, akan tetapi perlu ditilik lagi apakah menikah muda itu sesuai dengan kondisi realita sosial yang tersaji di tengah-tengah masyarakat? Pada kenyataannya, masih banyak praktik pernikahan anak, yakni perempuan di bawah usia 18 tahun, dinikahkan begitu saja tanpa memberikan pendidikan psikologis yang tepat, pengetahuan tentang kesehatan alat reproduksi yang cukup, termasuk bagaimana mengatur kondisi keuangan pribadi.

Embel-embel menikah muda akan mampu mengekang hawa nafsu jika tidak dibersamai dengan pemahaman tentang bahaya pernikahan dini dan efek jangka panjangnya bagi perempuan remaja yang belum siap, malah akan memicu banyak permasalahan yang lebih rumit. Korbannya pun lagi-lagi perempuan.

Menurut Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin, pernikahan anak akan memiliki dampak terhadap gagalnya seorang anak perempuan memperoleh pendidikan yang layak, risiko kesehatan ketika mengandung dan melahirkan, permasalahan ekonomi dan segudang permasalahan kompleks yang akan mengikuti.


 

Hasil riset dari Susenas pada tahun 2013 menyatakan bahwa perempuan yang menyandang status pernah kawin pada usia 20-24 tahun mencapai 24%. Memang prosentase tersebut terus menurun secara perlahan hingga tahun 2016, tetapi masih dalam kisaran angka yang cukup tinggi. Selain itu dari hasil survei tersebut juga ditemukan jika perempuan pada usia 20-24 tahun yang pernah melakukan pernikahan usia anak, cenderung memiliki pendidikan lebih rendah dibanding dengan perempuan yang menikah di atas 18 tahun.

Oleh sebab itu, sudah saatnya gerakan menikah muda ini dihentikan dan diganti dengan pemberian wawasan bagaimana seharusnya perempuan berhak mengenyam pendidkan lebih tinggi dan juga bagaimana hubungan antara keluarga serta institusi pendidikan dalam memberikan pendidikan seks yang cukup. 

Akan lebih baik jika perempuan diarahkan untuk menikah minimal usia 22 tahun, di saat ia telah lulus kuliah dan usianya sudah cukup dewasa untuk memahami tanggung jawab dalam rumah tangga. Sudah bukan saatnya lagi anak perempuan dianggap sebagai komoditi atau dianggap manusia kelas dua yang tujuan hidupnya hanya untuk pernikahan.

 

Pilihan Perempuan Sebagai Manusia

Beranjak ke fenomena berikutnya terlepas dari masalah pernikahan dini yang masih menjadi kebiasaan beberapa masyarakat, pernikahan seolah menjadikan perempuan tidak bisa memilih hal lain di luar itu. Saat ada seseorang yang memutuskan untuk mengejar karir atau berusaha meraih pendidikan setinggi mungkin, ada saja cibiran yang datang. Beda halnya jika seorang laki-laki yang tak kunjung menikah karena berusaha mencapai cita-citanya. Sebagian orang mampu memaklumi ketika laki-laki sukses masih betah melajang.

Perempuan memiliki pilihan. Sebagai manusia yang juga diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling sempurna, sudah saatnya perempuan tak lagi dipaksa untuk memilih pernikahan sebagai standar pasti. Memperbanyak keturunan bukanlah hal yang ideal jika hanya dijadikan sebagai sebuah tradisi. Perempuan bisa menikah di usia berapapun, sesuai dengan kehendak mereka.

“Bagaimana kalau perempuan sampai ada yang memilih untuk tidak mau menikah dan hanya sibuk dengan pekerjaannya? Bukankah ia akan kesepian?” Pertanyaan semacam ini juga sering diterima oleh para perempuan karir yang masih lajang.

Faktanya, laki-laki dan perempuan yang menikah tidak selalu mendapat kebahagiaan seperti di dongeng pangeran dan putri. Perempuan akan menikah dan bahagia selamanya, hanya menjadi isapan jempol jika tidak diimbangi dengan kerjasama dan pengertian yang baik antara suami dan istri.

Sesuai dengan data di Lokadata pada bulan Agustus 2019, tingkat perceraian menunjukkan peningkatan. Menurut hasil data yang dikumpulkan oleh Dirjen Peradilan Agama Mahkamah Agung, sekitar 44,6% perceraian disebabkan oleh pertengkaran. Lalu disusul 28,2%  perpisahan karena masalah ekonomi, sedangkan 18,2% dikarenakan meninggalkan pasangan dengan berbagai alasan.

 

Menikah bisa membuat bahagia, bisa juga tidak. Nilai kebahagiaan seseorang bisa saja dari pekerjaan dan karya yang dibuat dan bagaimana seseorang mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan masyarakat.

 

Dari hasil data tersebut, bisa disimpulkan jika pernikahan, baik yang menikah atas keputusan sendiri atau dijodohkan, tidak selalu memberikan hidup bahagia. Bukan berarti kita sebaiknya menghindari pernikahan, tetapi perlu diketahui juga jika pernikahan bukanlah cara utama untuk mendapat kesenangan. Menikah bisa membuat bahagia, bisa juga tidak. Nilai kebahagiaan seseorang bisa saja dari pekerjaan dan karya yang dibuat dan bagaimana seseorang mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan masyarakat. Jikalau ingin menikah pun, perempuan harus mempertimbangkan dengan sadar dan mendiskusikan hal-hal penting sedetail mungkin dengan calon suami. Kerjasama yang baik, komunikasi terbuka, dan sikap saling menghargai adalah kunci agar rumah tangga mampu melewati rintangan. Cinta saja tidak cukup.

 

Dukungan Pemberdayaan Perempuan

Dukungan terhadap pemberdayaan perempuan tak bisa hanya bergantung pada pemerintah saja. Butuh sinergi yang kuat dari keluarga hingga ruang lingkup karir perempuan agar diskriminasi terhadap perempuan bisa semakin dikurangi.

Yang pertama adalah pemerintah bisa melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat yang nantinya diteruskan hingga lingkup desa untuk mengedukasi pentingnya pendidikan untuk perempuan. Ibu Sri Mulyani selaku Menkeu yang juga dianggap sebagai contoh figur sukses seorang ibu rumah tangga, juga dapat berkarir dengan baik, menyebutkan jika penyerapan tenaga kerja perempuan di sektor informal mencapai 30%. Rendahnya pendidikan dan kurangnya kecakapan, membuat perempuan digaji lebih rendah dari laki-laki.

 


Dengan bantuan organisasi kecil atau komunitas yang ditunjuk di desa-desa, berikan informasi untuk anak-anak dan remaja perempuan, didampingi dengan kedua orang tua, bagaimana cara mendapatkan beasiswa pendidikan. Adapun bagi yang ingin bekerja, berikan penyuluhan terkait keterampilan dan juga sertifikasi resmi yang dapat membantu kemampuan perempuan dihargai lebih profesional.

Kedua, dari segi pendidikan, guru juga harus rajin melakukan dialog atau pendekatan secara rutin dnegan pihak orang tua yang terbatas akses informasinya mengenai manajemen keuangan (financial literacy) dan juga pendidikan seks untuk anak-anak perempuan yang akan memasuki usia pubertas. Pernikahan bukanlah jalan satu-satunya untuk melepas anak perempuan seolah kelahirannya menjadi beban. Pendidikan agama yang positif—tidak hanya merujuk pada dalil pernikahan—juga sangat penting untuk ditanamkan. Berikan cerita-cerita inspiratif dari para tokoh perempuan baik di Indonesia maupun mancanegara yang sukses meraih cita-cita.

Ketiga, instansi dan juga industri yang menerima tenaga kerja perempuan juga perlu menciptakan lingkungan yang nyaman dan kondusif bagi perempuan yang  menjadi ibu. Tak hanya pemberian cuti hamil yang lebih panjang, misalnya 6 bulan agar bayi mendapat ASI eksklusif, sediakan juga ruang khusus untuk perempuan memompa ASI. Bisa juga beberapa perusahaan di satu komplek industri bersepakat untuk membangun tempat penitipan anak usia dini. Seorang ibu tunggal pun akan terbantu dengan adanya fasilitas ini ketika tidak ada seseorang yang  bisa dipercaya untuk menjaga buah hatinya.

Dalam dunia profesional, perempuan juga harus mendapat kesempatan yang layak dalam peningkatan karir dan gaji. Selama kecakapan seorang staf perempuan itu mumpuni dan kredibel, sudah sewajarnya jika ia diberi kesempatan untuk naik level.

Yang terakhir adalah perlunya kesadaran dari sesama perempuan. Sudah bukan zamannya lagi, perempuan karir merasa lebih tinggi dari ibu rumah tangga. Begitu pula sebaliknya, perempuan yang telah menikah di usia dua puluhan dan bahagia dengan keluarganya, tidak perlu mencibir seorang ibu yang masih berkarir. Tinggalkan perdebatan tidak penting yang berpotensi membuat saling iri dan saling membenci. Perempuan seharusnya bersinergi untuk meningkatkan kepercayaan diri dan bakat mereka.

Laki-laki tidak perlu cemas dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan perempuan. Perempuan cerdas pasti akan lebih berdaya dalam mendidik anak dan mendukung pasangan. Bagi perempuan yang tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas utama juga tetaplah perempuan yang wajib dihormati. Perempuan bisa menjadi apa saja dan memilih akan seperti apa masa depannya nanti.

 

Referensi:

·         Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan (https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1685/perkawinan-anak-sebuah-ikatan-sakral-pemadam-api-harapan)

·         Sri Mulyani Bicara Tentang Pilihan Wanita: Karir atau Ibu Rumah Tangga? (https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-3480351/sri-mulyani-bicara-tentang-pilihan-wanita-karir-atau-ibu-rumah-tangga)

·         Pertengkaran dan masalah ekonomi: penyebab utama perceraian (https://lokadata.id/artikel/tingkat-perceraian-lebih-tinggi-dari-perkawinan)

·         Women need to stop choosing  career or family – and take the third way instead (https://www.telegraph.co.uk/women/business/women-need-stop-choosing-career-family-take-third-way-instead/)

5 komentar

Eka FL mengatakan...

halo kak salam kenal,
saya menilai, patriaki sebagai penyebab perempuan cenderung dianggap sebelah mata, tidak boleh berkarir dan tugas nya hanya satu, melayani suami. that's it. ini yang disebut ketidaksetaraan gender. okelah, ibadah perempuan setelah menikah itu memang melayani suami dan keluarga, but it doesnt mean that we must keep silent doing nothing for our self.

sayangnya, patriaki ini udah mendarah daging dari jaman dinosaurus diterjang meteor. semua urusan a i u e o di rumah pasti perempuan yang bertanggung jawab, padahal harusnya tidak begitu. di ambil lah hadits yang sepotong dan ayat yang disalah artikan sebagai kayu bakar atas bara api yang dinamakan ibadah. padahal sesungguhnya kan tidak begitu. apalagi bagi mereka yang paham sejarah dan ayat. di islam, tidak ada patriaki.

panjang ya bahasannya. hahahahaha

yang jelas, isu feminisme dan ketidaksetaraan gender ini emang udah ada dari dulu di seluruh belahan dunia. saya mikir gini sambil termenung, kalo dinegara bule gimana ya? ternyata sama saja, kasus begini ada aja.

pilihan menikah atau tidak menikahpun, memang back to her self. gak bisa dipaksakan hanya karena usia. bahkan pilihan pengen punya karir setinggi menara dubai juga boleh-boleh aja. toh dibutuhkan emak yang cerdas dan pintar untuk mendidik anak - anak. bukankah emak itu adalah madrasah paling awal bagi anak-anaknya?

yah, kira-kira begitulah, hehehe . udah ah, kepanjangan ntar cape bacanya, hahahaha.

salam hangat
eka_artjoka

Reffi Dhinar mengatakan...

Wow saya suka sama ulasannya, memang benar bagi pria yang paham dasarnya, pasti tidak asal menyalahkan perempuan dengan dalil yang mereka pahami dengan kedangkalan pikiran. Seperti Rasulullah dan Ibunda Khadijah, dalam rumah tangga mereka kita diajarkan adanya toleransi, saling menghargai, dan komunikasi. Mereka bahu-membahu dalam memperjuangkan Islam yang artinya Rasulullah menganggap istri tercintanya itu sebagai partner juga yang kualitas pemikirannya setara. Sebelum bertemu Rasulullah pun, Khadijah menjadi saudagar sukses dan suka berdiskusi dengan pamannya yang seorang rabi, tentu tetap dalam koridor yang sopan. Kadang pria dengan mental patriarki tidak membaca sejarah ini, hanya asal tempel hadis dan ayat yang ditafsirkan seenak udel.

Makasih atas diskusi bergizinya :D

Eka FL mengatakan...

Sama sama kak, panjang ya ulasan saya hehehehe. Salam kenal ya kak

Reffi Dhinar mengatakan...

salam kenaal :)

Tira Soekardi mengatakan...

setuju dengan tulisan ini, makasih sharingnya