Analogi Pemerintah Sebagai Orang Tua




Keluarga adalah tempat belajar berpolitik paling awal. Itulah yang saya dapat di keluarga. Orang tua menjadi sosok pemimpin paling awal dan saya belajar menyampaikan opini di tengah perbincangan bersama mereka.


Gaya parenting orang tua juga berbeda-beda. Ada yang diktator, permisif, atau demokratis. Seperti halnya sebuah negara, pemerintah yang bertugas sebagai negara juga punya peran dalam membimbing rakyatya. Anak dan orang tua punya hak dan kewajiban. Dalam bentuk berbeda, pemerintah dan rakyat pun punya simbiosis serupa. 

Tidak seimbangnya hubungan hak dan kewajiban serta gagalnya komunikasi antara orang tua dengan anak, pasti akan menimbulkan intrik. Sama halnya jika dalam sebuah negara terjadi hal yang mirip. Kali ini saya berbicara sebagai rakyat biasa dan kacamata seorang anak, bukan seorang ahli politik dengan jabatan dan gelar.


Anak Nakal Salah Siapa?


Saat masih kecil dulu ketika ada anak yang sikapnya sulit diatur dan berbuat nakal, orang dewasa biasanya akan bilang, "Nih anak siapa sih? Gimana ortunya ngajarin di rumah?"

Saat orang tua si anak bermasalah ini mendapat laporan pengaduan, label 'anak nakal' pun makin melekat pada anaknya. Ayah dan Ibu yang bijak dan smart, akan mencari tahu apa masalah utamanya. Diskusi akan dibangun untuk mengetahui alasan si anak bertindak. Orang tua tak hanya memberitahu jika sikap si anak itu salah, tetapi juga diberi ruang untuk menyampaikan keluh kesahnya. Sayangnya, ada juga orang tua yang sibuk menyalahkan anak, tanpa sadar jika sumber masalah ada di diri mereka.



Sebuah kutipan menarik dari  situs Sue Atkins The Parenting Expert  sepertinya cocok dengan ilustrasi di atas.

Often parents label their kids as ‘naughty’ because they’re not conforming. There are a number of reasons for this – they are testing you out, you’re not clear in what you want them to do, they’re tired, you’re tired or they are simply not mature enough yet to self-regulate their own behaviour.

Gaya diskusi anak dan orang tua pun berbeda di tiap fase. Saat kecil, Mama dan Papa saya menunjukkan secara total apa yang salah dan benar, menjadi pelindung utama, penyokong dana, pendidik awal, sekaligus memberi saya dan adik ruang untuk menjadi diri sendiri. Mereka memberi teladan. 



Ketika memasuki usia remaja, jiwa labil dan doyan membantah mulai membuat saya doyan menanyakan semua nasehat. Ada pemikiran orang tua yang saya anggap kuno. Kadangkala orang tua jengkel karena merasa saya sulit diarahkan. Nobody's perfect. Tetapi Mama dan Papa berusaha untuk memahami dan saya belajar menekan ego meledak-ledak, kuncinya tentu saja komunikasi yang sehat.

Jadi jika anak nakal, tidak sepenuhnya itu salah si anak. Apakah orang tua sudah memberi teladan yang baik? Apakah orang tua bertindak penuh kasih bukannya bersifat diktator dan doyan main pukul? Apakah orang tua sudah membangun komunikasi yang sehat bukannya hobi menghina dan meremehkan anak? 

Banyak sekali yang perlu diurai. Kadang orang tua tidak sadar ketika meminta hak untuk dihormati namun lupa untuk memenuhi kewajiban melindungi dan menyayangi anak sampai anak menuntut perhatian dengan cara yang dianggap barbar.

Sudahkah Pemerintah Memenuhi Kewajiban Sebagai 'Orang Tua'?


Pemerintahan pastinya lebih kompleks dari keluarga. Analogi keluarga saya tulis karena ini mudah untuk menyederhanakan kejadian-kejadian yang sedang menjadi berita hangat di seluruh negeri. Rakyat dari segala usia berteriak marah atas kebijakan yang dinilai terlalu terburu-buru untuk dibuat dan seolah tak peduli terhadap keberatan yang diajukan.

Kewajiban sebagai warga negara yang baik telah dipenuhi seperti membayar pajak, demokrasi digaungkan sejak era reformasi, kini bagaimana pengaplikasiannya? Tidak ada pemimpin sempurna, seperti halnya orang tua karena kita hanya manusia biasa. Dialog yang baik dan simultan seharusnya bisa menguraikan ketegangan. Nyatanya? Ya bisa dilihat dan dibaca di banyak media.

Kurangnya sosialisasi, berbaurnya berita hoaks, provokator di sela demonstrasi, makin memperburuk kondisi. Keriuhan di mana-mana seperti bisul becah yang akar masalahnya sudah berbulan-bulan menumpuk. Sinyal meminta diperhatikan dari rakyat ini telah diteriakkan jauh-jauh hari. Lalu ketika mendengar kalimat macam begini, "Anak milenial kontribusinya apa?" Respons seperti apa yang diharapkan dari para milenial?   




Benar ada 'kenakalan' yang merugikan. Saya pun tak setuju dengan demo yang merusak fasilitas umum dan ricuh. Tetapi menuding dan menyalahkan tanpa introspeksi pada diri sebagai pemangku kebijakan atau sebagai orang yang pernah berperan penting dalam pemerintahan, sama halnya seperti orang tua yang menyalahkan anak tanpa berkaca.

Sebagai anak yang nantinya akan menjadi orang tua, saya banyak belajar. Termasuk dari cerita teman-teman. Ada orang tua yang berhasil membangun keluarga sehat, ada orang tua yang cocok menjadi teladan orang tua, dan ada orang tua yang bisa dianggap gagal. Mau menjadi apa kita? Mau seperti apa pemerintah bersikap? Itu pilihan sadar, bukannya sebuah kekhilafan apalagi menuding sembarangan. 

3 komentar

Rahman Kamal mengatakan...

What a writing, really inspiring dan ngebuka pemikiran

Reffi Dhinar mengatakan...

Terima kasih sudah mampir :)

Tira Soekardi mengatakan...

makasih sharingnya